Menjadi Majnun
3:10:00 AMKetika mendengar kabar tentangmu yang memilih jalan lain. Memilih lembaran yang baru. Dengan segala resiko yang tentu kamu telah renungkan. Meninggalkan aku yang masih penuh harap. Aku tak lagi tahu akan menjadi apa aku malam nanti. Apakah menjadi manusia yang normal? Atau menjadi manusia yang lupa akan dirinya. Pesakitan. Terluka. Mengalienasi diri. Menenggelamkan diri pada kubangan kebencian dan kecewa. Menjauhi hirup pikuk media. Jangan lihat apapun. Begitu batin berucap. Tak ada lagi yang mesti dilihat. Biarkan saja. Biar dirimu puas!
Perihal sakit hati. Setiap orang punya caranya sendiri. Tak bisa disamaratakan. Digeneralisasi. Dipukul rata. Masing-masing punya cara untuk mengekspresikanya. Ada yang mengurung diri. Berbaur menjadi palsu. Menekan kesedihan dengan pelarian. Ada yang berteriak dalam dekap bantal. Bernyanyi kencang dalam ruang pengap. Berlari sampai berkeringat deras sambil memaki. Ada yang diam-diam menghadapi getirnya dengan mengemis berharap sang pujaan kembali. Bebas. Buncahkan segalanya. Tak ada yang mesti ditahan bukan?
Aku memilih mengemis. Berlutut. Memohon. Memelas. Berharap kamu kembali dalam gengaman. Masuk dalam radar jangkauan pelukku kembali.
"Aku terluka akan semua. Aku tahu aku salah. Aku penyebab semua. Aku adalah akar segalanya. Namun jangan hukum aku dengan pergi. Kembalilah. Mulai ini dari awal"
Aku membucahkan apapun. kalimat maaf dan segalanya. Berbusa mulutku tak apa. Asal kamu ku rengkuh kembali. Apa mohonku kurang? Perlukan ku merengkak untuk mendapat maafmu? Tak apa, akan aku lakukan. Lihatlah. Dan ketuk hatimu. Jadilah manusia yang berperasaan.
Kini aku bukan lagi diriku. Semua tenggelam dalam angan. Seakan sebuah delusi mengembalikan semua ke awal. Disaat semua baik-baik saja. Sebuah harap yang mushil. Sebuah harap yang kosong. Realitanya tak ada mesin waktu yang seenaknya membawaku pergi hilir mudik merusak waktu.
Aku berkubang dalam-dalam. Meronta-ronta memendung rindu. Berselimut harap yang semakin membebaniku. Menibaniku paksa. Tak lagi mampu berdiri. Membuat tubuhku membungkuk. Dan terus menerus meracau tentang harapan untuk kamu kembali. Menjanjikan apapun. Membual tentang apapun. Segalanya aku rengkuh dan coba. Tak ada yang salah bukan?
Apa salahnya kamu berpaling sebentar. Mendengar harapku. Mendengar sedikit saja janjiku. Dengarkan sedikit bualku yang mungkin membuatmu merubah pikiran. Terserah. Kamu anggap bualan atau sebuah kepastian. Sedikit saja, dengarlah aku!
Baiklah. Tak apa kamu tak menoleh. Tak berpaling. Berdiamlah dalam posisimu. Duduk atau berdiri. Tidaklah mengapa. Aku yakin inderamu masih bisa merasa. Apapun yang aku ucap. Dari jarak dekat maupun jauh. Yakinlah kamu dengar. Masuk dalam kuping kananmu dan sejak berhenti dalam pikiranmu. Membuatmu berfikir kembali. Menelaah kembali apa jalan yang kamu pilih tepat. Lalu, terserah padamu akan dikeluarkan dari mana bualanku tadi, dikuping kiri atau kembali pada kuping kanannmu. Hakmu sebagai manusia.
"Aku sungguh mencintaimu. Sungguh. Mari mengulangnya kembali. Jadikan ini sebuah pelajaran. Menjadi hubungan yang baru. Kamu masih ingat istilah pohon Oak itu, bukan? Aku rasa kita akan semakin kuat pasca permasalah ini. Kembalilah. Tinggalkan orang baru itu. Aku mohon".
Baiklah. Ini pilihanmu. Resiko yang kamu ambil. Meninggalkan sebuah kenangan. Melemparkanku dalam keranjang masa lalu. Memilih jalan baru. Biarkan aku menyudahi ini semua. Berikan aku kesempatan untuk terkahir kali. Sebelum aku berkubang kembali pada kekecewaan dan kesedihan. Meredam rasa ingin kamu kembali sangatlah berat. Sebuah habitus yang akan mulai aku biasakan.
"Terimakasih untuk semua. Tak lagi aku berharap kamu kembali. Aku akan mencoba mencari penggantimu. Semoga kamu bahagia. Jangan khawatirkan aku. Biarkan aku menikmati getir ditinggalkan. Biarkan saja. Berbahagialah. Menikmati apa yang selama ini kamu cari. Apapun yang dulu kamu tak dapat dariku. Nikmati dan ciptakanlah dunia yang selama ini kamu bendung. Semoga aku bagian dari sejarahmu yang baik untuk dikenang. Selamat tinggal"
0 bersenandung kritik