Kenal Sejak dalam Kandungan, Sebuah Metafora Kisah Masa kecil
12:10:00 AM“Kalau pram pernah bilang adilah sejak dalam pikiran, mungkin kata yang
pantas untuk saya dan ariq adalah saya kenal sejak dalam kandungan”.
Begitulah kalimat yang saya ucapkan sambil bergetar di malam pernikahan
Ariq. Tidak ada korelasinya memang antara ucapan Pramoedya dan saya. Kalimat
itu hanya sebuah analogi kacau yang saya buat di pinggir kolam renang dengan
Dian sebelum naik ke atas panggung. Penunjukan saya sebagai pembicara memang
bukan dadakan. Ini sebuah rangkaian acara pernikahanya. Saya ditunjuk sebagai
satu diantara dua orang yang diberikan kesempatan berbicara di tengah padatnya
tamu undangan. Orang-orang yang dipilih memang karena kedekatan personal dengan
salah satu pengantin. Berbicara tentang Ariq dan tentu Mala yang menjadi fokus
utama malam itu. Deg-degan? Tentu saja. Ini malam yang sangat berarti untuk
sahabat kecil saya, Muhammad Ariq Syauqi.
Awal Kami Bertumbuh
Saya dilahirkan 6 Juni 1994, jelang dua bulan selanjutnya tepatnya 2
September 1994, Ariq menyusul. Tentu ini bukan suatu hal yang dijanjikan atau
direncanakan. Kami adalah sepupu. Ayah saya dan Ibu Ariq adalah adik dan kakak.
Selama kami di dalam kandungan, Mama dan Ibu Ariq selalu menjalani aktivitas
bersama. Ibu-ibu hamil itu selalu mengajak kami berjalan. Mungkin begitu, mulai
dari pasar, acara keluarga sampai acara-acara lainnya. Membawa kami yang dalam
kandungan kemana pun mereka berjalan. Mungkin itu yang tadi saya sebutkan, kami
sudah kenal sejak dalam kandungan. Sebuah perumpamaan yang jelas metafor.
Kami bertumbuh bersama. Acara keluarga dan kedekatan rumah membuat saya
dan Ariq selalu bertemu. Kami pun sekolah di taman kanak-kanan yang sama, TK Darul
Ulum. Selain milik keluarga, TK ini memang memiliki nilai historis sendiri bagi
saya dan Ariq. Sejak usia kanak-kanak kami sudah bermain dan berbagi cerita, seputar
imajinasi yang liar hingga berseteru karena mainan. Menunggu abang-abang mainan
di masjid, mungkin salah satu kegiatan yang tak pernah kami lupakan. Sabtu-minggu,
rumah Ariq bak sebuah tempat berlibur bagi saya. Biasanya Sabtu sore saya
berjalan dari rumah, jaraknya mungkin sekitar 1 km. Membawa plastik hitam
berisi baju ganti dan mainan. Menyusuri jalan sambil bernyanyi apapaun, yang
lebih sering karangan asal. Tak ada beban kehidupan sama sekali. Bahkan jarang sekali
saya membawa uang.
Kenakalan masa kecil akan selalu saya ingat dan kenang ketika berkumpul.
Kami pernah menaiki kubah masjid yang letaknya memang bersebelahan dengan rumah
Ariq. Ada sebuah mitos, katanya kita bisa melihat megahnya Gelora Bung Karno (GBK)
dan Gunung Salak dari sana. Hal yang membuat dua orang bocah kecil memberanikan
diri menyusup dan menaiki kubah sepagi mungkin. Membuktikan mitos itu benar
atau hanya sebuah mitos belaka. Nyatanya tak ada Gunung Salak dan GBK yang
terlihat. Gedung-gedung tinggi dan mungkin polusi sudah meleyapkan pemandangan
itu. Yang cukup lucu, kami turun karena diteriaki ibu-ibu tukang es kelapa dari
seberang jalan yang membuat kami bahan tontonan orang yang lewat.
Di jaman sepeda merebak. Kami memacu sepeda kami kencang-kencang di
TUBES (Turunan Besar). Sebuah kebiasaan yang dulu kami lakukan adalah menamai
jalan-jalan yang kami lewati dengan nama yang menurut kami keren dan mudah
diingat. Sabagai anak zaman era 90an, bermain video game memang sebuah
keharusan dari pada tertinggal obrolan dengan anak-anak lain. Kami pun membeli Playstation
dari uang sunat kami yang cukup banyak. Lalu mulai sering membeli kaset Playstation
di toko Dua Bintang. Membeli satu kaset biasanya memakan waktu yang lama, jelas
membuat si abang kadang bete melihat anak-anak seperti kami datang. Dilema
menamai kami sebuah rezeki atau petaka.
Badan kurus Ariq selalu saya ingat. Terlihat ringkih memang. Tapi tak
seringkih kelihatanya. Dia kuat dan tangguh. Saya ingat betapa licahnya ia
menaiki pohon belimbing depan rumahnya dan menyusup ke sekolah Darul Ulum.
Sedangkan saya harus menyusup melalu jalan lain, yaitu lewat tempat wudhu
masjid. Sekolah Darul Ulum memang unik, letaknya persis di atas Masjid. Ohya,
mungkin ada satu hal yang terlewat dan membuat kita tertawa jika mengingatnya.
Setelah kami berhasil menyusup ke sekolah. Kami selayaknya anak kecil lainnya,
menjadikan seluruh sekolah sebagai lahan bermain. Bermain bola, berlarian di lorong
kelas sampai bergerilya ke atas lantai sekolah. Lelah bermain, menjelang sore,
kami berada di atas sekolah, dekat dengan kubah masjid. Kami berdua melihat
tiang bendera yang letaknya tak jauh dari posisi kami di lantai paling atas.
Ariq dengan spontan menaiki tiang bendera dan meluncur ke bawah bak tiang
luncur sambil berteriak. Saya melihatnya dan spontan menyusul tentu sambil
berteriak yang tidak kalah seru. Tak disangka tiang bendera itu rubuh ketika saya
sampai di bawah. Membuat kami terdiam. Tiang itu jatuh dan membuat kami panik
bukan main. Seperti anak lainya yang realistis, memilih kabur adalah jalan
paling aman. Dan berpura-pura tidak mengetahui dan melakukan apa-apa.
Kami Menamainya Penjara Suci
Setelah lulus sekolah dasar. Entah bagaimana ceritanya. Kedua orang tua
kami yang memang akrab sebagai teman bicara mengusulkan kami bersekolah bersama
untuk jenjang selanjutnya. Pilihanya bukan sekolah negeri atau swasta dekat
rumah. Tapi untuk melanjutkan di pesantren. Pondok pesantren yang dipilih
bersama orang tua kami. Tanpa berfikir lama, dengan segala imajinasi keseruan tentang
pondok pesantren, kami menyetujui untuk bersekolah bersama dan melanjutkan
sekolah di pondok pesantren Miftahul Ulum.
Saya ingat di malam pertama di kamar asrama. Saya dan Ariq ditaruh di kamar
yang sama dengan tiga anak lainya, yaitu Aab, Imam, dan Fajar (yang belakangan
kami panggil Tukul). Saya ingat betul kami sama-sama menangis ketika orang tua
kami pamit untuk pulang setelah mengantarkan kami. Ditinggal dalam sebuah
tempat yang baru memang menyesakkan. Kadang kami merasa menyesal dan memang
belum siap untuk ditinggal orang tua. Namun, pesantren ini membuat hubungan
persahabatan kami lebih bervariatif dan lebih mengenal lebih jauh. Membuka
ketabuan yang selama ini kami bentengi dengan tebal.
Pesantren ini sering kami sebut penjara suci. Entah analogi darimana.
Tapi ya begitulah kami dengan bangganya menulis di buku-buku sekolah dengan
gaya tulisan bervariatif. Di masa ini saya dan Ariq berkembang menjadi anak yang
dewasa. Bertranformasi dari bocah ingusan menjadi anak-anak remaja tanggung. Mungkin
saya lebih dulu menjadi remaja tanggung karena memilih menjalin ikatan dengan
kakak tingkat, yang sebenarnya terlihat seperti pacaran. Ariq memilih untuk
menjadi santri yang bebas walaupun ya saya tahu ada beberapa orang yang
menyukainya. Mungkin Ariq memiliki cara lain untuk menyukai seseorang, hanya
saja saya selalu berfikir siapapun yang nantinya jadi pasanganya. Percayalah, kamu
beruntung.
Kenakalan di masa menjadi santri banyak sekali. Mungkin bisa menjadi novel
tersendiri. Namun ada sebuah kejadian yang selalu saya kenang. Saya ingat
kejadian ini memang berawal dari kebiasan saya dan Ariq jika berjalan pulang
yaitu mampir di bubur mandura yang jaraknya searah pulang ke rumah. Kebiasaan
ini kami ceritakan ke santri lain, ya jelas tentang lezatnya rasa bubur madura.
Hal ini membuat santri lainnya penasaran dan memutuskan sebuah kejahatan kecil,
yaitu ‘cabut’ ke bubur madura di malam minggu.
Rencana dijalankan. Jumlah anak yang ingin ikut kisaran 6-9 santri. Saya
sedikit lupa jumlah pastinya. Orang-orang termakan omongan saya dan Ariq.
Jadilah malam minggu kami berangkat dengan modus berjalan terpisah menjadi
kelompok kecil. Kami berkumpul di suatu lapangan dekat perkampungan warga untuk
mengganti sarung dengan celana pendek yang kami kenakan. Sarung kami gulung
sampai perut. Lalu kami berjalan bergerombol sampai akhirnya tiba di tempat
bubur madura. Kami semua lahap memakanya. Semua berjalan sesuai rencana hingga akhirnya
kesialan itu terjadi. Di jalan pulang, salah satu dari kami menyetop mobil
untuk menyebrang jalan. Yang ternyata adalah mobil ustaz pondok pesantren kami.
Beliau langsung menghubungi pengurus dan melaporkan ada sejumlah anak yang
‘cabut’ keluar pesantren.
Setiba di pondok, kami sudah disambut pengurus. Dijejerkan dan disuruh
mengaku siapa saja yang ikut. Kami dikumpulkan di ruangan dan akhirnya
rambut-rambut keren kami digundul paksa. Besoknya kami dijejerkan di depan
asrama putri sebagai hukuman apa yang kami lakukan. Sial memang, tapi kini menjadi
cerita yang membuat kami selalu tertawa. Bubur madura membuat rambut kami
hilang di tangan tukang cukur langganan pesantren.
Di pesantren ini juga saya melihat sikap Ariq yang menurut saya luar
biasa. Salah satunya ketika kabar Ayah saya meninggal. Saya ingat itu hari
sabtu, karena saya selalu ingat baju pramuka yang saya kenakan di momentum itu.
Siang setelah sekolah yang cukup membosankan karena menjelang akhir pekan.
Salah satu kakak Ariq, Zaki datang. Memanggil Ariq dan berbicara denganya di
luar kamar. Saya tak sama sekali curiga. Ariq datang menemui saya di kamar,
memberi tahu saya kita harus pulang ke rumah kakek karena ada acara keluarga
katanya. Saya mengiyakan dan tentu senang, akhir pekan ini pulang ke rumah
setelah sekian lama tidak pulang. Saya pamit dengan teman-teman yang mungkin
sial tidak bisa pulang. Saya pikir saya beruntung bisa pulang minggu itu. Ariq
hanya diam, tak banyak bicara. Dia pula dan bang Zaki yang memuluskan izin ke
Ustaz pesantren, tentu tanpa saya.
Kami menaiki motor bebek bertiga. Menyusuri jalan Jakarta yang panas
terik dengan membawa oleh-oleh pakaian kotor di ransel kami masing-masing. Tak
disangka setelah mendekati rumah kakek saya, hanya bendera kuning yang
terlihat. Ternyata Ayah saya telah meninggal dunia, tanpa sepengetahuan saya.
Dan kabar ini sudah Ariq ketahui sejak di pesantren. Saya selalu percaya, dia
menahan cerita itu dengan berat. Mungkin sudah bisa menebak bagaimana nanti
ketika saya mengetahui kabar sebenarnya. Sampai saat ini, sikap Ariq untuk diam
dan tidak memberikan kabar itu sebelum saya sampai dan tahu dengan sendirinya
adalah sebuah sikap yang luar biasa. Karena dalam perjalanan semua tampak biasa
saja. Tanpa ada kecurigaan saya sama sekali. Mungkin jika saya tahu lebih dulu,
saya akan meraung-raung menangis.
Walaupun hal yang saya sesalkan setelah itu adalah kehidupan saya yang
berantakan. Saya berhenti menjadi satri. Memilih menjadi anak luar. Meninggal
Ariq di pesantren dan memilih jalan lain. Kadang saya berfikir, apakah Ariq
paham dan mengetahui alasan saya tidak melanjutkan pesantren. Tapi dari
sikapnya yang tidak berubah ketika bertemu saya di sekolah membuat saya sedikit
yakin dia memahami pilihan saya. Mungkin saya hanya membuat kecewa Ibu dan Ayah
Ariq yang setelah Ayah saya meninggal membiayai semua urusan sekolah. Hal yang membuat
saya selalu menyesal dan sangat bersalah sudah mengambil keputusan tersebut.
Mentor Kreatifitas
Jika sekarang ada beberapa orang yang menyukai karya yang saya buat, saya
rasa mereka harus kenal siapa yang mendukung dan membimbing saya hingga ada dan
bisa mencipta seperti itu. Ya siapa kalau kalau bukan seorang bernama Ariq.
Selama ini, selepas obrolan malam yang sering kami lakukan sampai larut pagi.
Pasti akan melahirkan refleksi tersendiri untuk saya. Terutama dalam hal ide
dan motivasi. Saya pasti pulang dengan ide bergelimpangan, bak seorang bajak
laut yang menemukan harta dari hasil menjelajahi peta yang mungkin tak sengaja
ditemui. Ya begitulah kondisi saya setiap menginap di rumah Ariq.
Mungkin terdengar sedikit berlebihan. Tapi begitulah yang saya rasakan
sejauh ini. Karakter Docallisme yang saya buat tahun 2009 di masa SMA misalnya.
Awalnya Docallisme adalah hasil perenungan saya atas segala hal yang menurut
saya perlu dikritik. Menurut saya sekolah bukan sebuah lembaga yang hanya
menjadikan ubi jalar, akar rotan menjadi sebuah gula. Tapi menjadi sebuah
lembaga yang mau menerima kritikan apa pun dan dari mana pun sumbernya. Di fase
itulah karakter Docallisme hadir. Dalam perkembangan karakter Docall, Ariq lah
yang membantu saya menyelaraskan ide dengan visualnya. Pada akhirnya kami
terjun dan mulai mengenal dunia malam seni jalanan (street art).
Perkenalan saya dengan dunia mural dan street art tak lepas dari
Ariq. Karakter Marsnev yang Ariq cipta juga menjadi salah satu sumber imajinasi
saya mencipta Docallisme. Hal ini yang menjadi acuan kami muda terjun dan
tenggelam dalam seni anak jalanan. Menyoret-nyoret tembok jalan dengan cat
semprot. atau mencoba seni wheatpaste “Koruptor datang ke negeri ini!” di
Gandaria. Atau membuat mural “Kami Butuh Taman!” di sebuah lahan di samping
rumah Ariq yang desas-desusnya akan dibangun sebuah gedung berlantai yang
menurut kami hanya membuat sumpek.
Karya saya lainnya juga berangkat dari hasil diskusi dengan Ariq.
Menjadi pencipta Font salah satunya. Saya belajar banyak dari Ariq seputar
dunia font yang sekilas dulu menurut saya hanya sebuah keisengan yang
menghasilkan uang jajan tambahan. Tapi kini bukan itu saja. Font-font saya
cukup dikenal dan digunakan di beberapa negara di dunia. Bahkan beberapa brand
terkenal pernah menggunakan font saya, sebut saja Word Health Organization
(WHO), Taylor Swift atau Stephen King. Capaian ini tak lepas dari hasil diskusi
tengah malam dengan Ariq.
Aktivisme Perkuliahan
Tengah malam di bulan Ramadhan saya menginap di rumah Ariq dengan
sengaja. Maklum saya tak punya gawai dan wifi. Hasil tes pengumuman perguruan
tinggi akan diumumkan tengah malam. Momentum yang tentu saya tunggu-tunggu.
Jelang pergantian hari, bukan mengisi dengan sholat tahajud atau ibadah lainya.
Saya dan Ariq sibuk membuka website pengumuman. Mungkin bergantian dengan
ribuan pengharap lainnya. Dengan pelan Ariq mulai men-scrolling data kelulusan.
Perlahan-lahan menuju jurusan yang saya pilih. Tentu harapanya, ada nama saya
di sana. Dan benar saja ada nama saya. Malam sampai subuh saya tak bisa tidur,
hanya membicarakan tentang perkuliahan.
Saya mengenal Soe Hok Gie dari Ariq. Seorang mahasiswa jurusan sejarah
Universitas Indonesia. Aktivis yang dielu-elukan para pendaki ini menjadi acuan
aktvisme masa-masa perkuliahan saya. Selepas mengetahui Soe. Saya melumat habis
buku “Catatan Seorang Demonstran.” Buku yang berisi catatan harian Soe. Setelah
itu saya mendaki gunung Gede-Pangrango pertama kalinya di tahun 2013 dan selanjutnya
terus mendaki gunung lainya. Saya pun ikut demo-demo di kampus. Berangkat dari
perkenalan saya dengan Soe, setidaknya saya tidak menjadi apatis dan
terbelenggu menjadi mahasiswa yang mengalienasi diri dari hiruk pikuk dunia pergerakan.
Hal ini yang mengantar saya bisa perlahan-lahan mencari ruang, hingga akhirnya
menjadi pengabdi di Lembaga Bantuan Hukum.
Malam Pernikahan
Jujur saja, saya seorang yang melankolis. Apapun momentum yang menurut
saya menyedihkan akan membuat saya menangis. Hal ini terjadi saat malam
pernikahan Ariq. Malam di mana saya melihat sahabat kecil saya bersanding
dengan perempuan pilihanya. Menjadikanya manusia baru. Di pinggir kolam renang,
bersama Dian menyiapkan kalimat demi kalimat untuk menyempurnakan kebahagiaan saya
malam itu.
Dalam gugup saya menulis kata demi kata. Dian melengkapinya dengan
perlahan. Kami berdua jelas tahu apa yang harus disampaikan nanti haruslah
sebuah pesan yang bisa membekas. Mengapa? Karena malam itu hanya ada satu orang
yang dipilih untuk mewakili dari setiap pegantin. Dan saya menjadi seseorang
yang mewakili Ariq.
Tamu berkerumun. Semua menghadap panggung. Nama saya dipanggil. Mikrofon
saya pegang perlahan. Jelas bergetar tak bisa ditahan. Menghela nafas
dalam-dalam mngkin salah satu cara menenangkan diri. Sembari mengingat ucapan
guru teater saya dulu “jika di atas panggung, salah cara agar kamu tak gerogi, imajinasikan
penonton adalah batu yang diam tanpa ekspresi.” Begitu yang saya ingat di tengah
kelas dengan lantang Bu Ibo menyemangati kami yang awam dalam dunia
perteateran.
Saya naik ke atas panggung. Ariq dan Mala ikut bergabung dengan posisi
saya. Ariq merangkul saya. Dan mulai lantang Saya berucap …
Kalau pram pernah bilang, adilah sejak dalam pikiran, mungkin kata yang
pantas untuk saya dan ariq adalah saya kenal sejak dalam kandungan.
Pada 6 Juni 1994 saya lahir, selang beberapa bulan kemudian 2 September
1995 Ariq lahir. Jika ada yang bertanya pada saya sejak kapan saya mengenal
Ariq, mungkin saya akan membuka buku lembaran kehidupan saya dari awal.
…
…
Mala dan Ariq, jadilah seperti Kakek dan Nenek Kita. H. Ayub Syiab dan
Hj. Rohana,
di mana mereka mempertahankan cintanya hingga akhir hayatnya.
Mala dan Ariq, jadilah seperti orang tua Ariq. KH. Royani dan Hj.
Nurainah,
di mana cinta mereka dipertahankan sampai tua. Mereka mengisi ruang
dengan bercerita, tertawa dan membesarkan anak-anak.
Yang terakhir,
Mala dan Ariq jadilah seperti orang tua saya. M. Rosally dan Rusmini,
di mana ketika salah satu cintanya hilang karena Ayah saya pergi
meninggalkan Mama lebih dulu. Jadilah pasangan yang setia, pasangan yang
mencintai tak terikat waktu.
Semoga Mala dan Ariq menjadi seperti analogi-analogi yang saya bilang
tadi.
Saya menutup kalimat itu dengan lega. Turun panggung dan tak berani
melihat video saya yang direkam Dian. Dan berdoa semoga saya tidak memalukan
sebagai representasi salah satu pengantin.
Pekalongan Sampai Landon dalam Sebuah Cerita singkat
Penghujung bacaan. Sebuah cerita yang baru saja sama-sama saya rasakan.
Hal yang saya janjikan pada diri sendiri untuk dituliskan. Namun butuh prolog
dan pengantar yang cukup panjang memang. Tapi tak mengapa, mengingat dan
menuliskanya memang sebuah keharusan, begitu selalu saya ucapkan dalam hati dan
pikiran.
Beberapa bulan terakhir saya dan Dian sedang kelimpungan. Sedikit pusing
dengan pandemi Covid-19 yang menghambat acara yang sudah kami rancang dari
tahun lalu, yaitu acara lamaran kami. Mungkin ini sebuah jalan dan harus
dinikmati dari pada terus menerus disesali yang sama sekali tidak akan mengubah
keadaan apapun sampai siapapun saintis menemukan vaksin covid-19. Penemuan yang
akan merubah dunia.
Saya secara personal sebenarnya tidak mau merepotkan siapapun dalam
acara lamaran saya dengan Dian. Bagi saya sudah cukup membuat repot orang. Namun
keluarga Ariq bak datang membawa bantuan di saat yang tepat. Mereka mau
mengantarkan saya ke Pekalongan. Kota di mana tempat tinggal Dian. Salah satu
hal yang membuat saya enggan meminta tolong adalah jauhnya jarak antara
Pekalongan dan Jakarta. Membuat orang pasti sudah malas apalagi di tengah
Pandemi ini.
Hal ini mungkin tak akan saya lupakan dan menjadi salah satu alasan saya
menulis semuanya. Mepetnya waktu lamaran saya dan berangkatnya Ariq ke London
menjadi alasan utama. Awalnya saya tak menyadari hal ini. Tapi beberapa orang
memberi tahu saya tentang suatu hal, bahwa Ariq dan Mala memang sangat niat
mengantarkan saya ke Pekalongan walaupun lusa harus berangkat kembali London
untuk meneruskan sekolah pasca sarjana Mala yang sedikit lagi rampung. Mereka
menyadari tidak mungkin untuk kembali ke Jakarta di waktu acara pernikahan saya
nanti. Saya tau mereka akan lelah. Bisa saja mendapat kendala di bandara jika
keadaan dan kondisi tubuh mereka dicurigai bermasalah. Maklum Covid-19 membuat
beberapa bandara menerapkan standar kesehatan yang cukup ketat. Namun hal itu
menjadi hal yang dikesampingkan Ariq dan Mala. Jujur saja hal ini membuat saya
dan Dian harus menahan rasa haru. Saya sangat melankoli malam itu, pun sama
dengan Dian. Ada orang-orang baik yang mengantarkan saya dan menemani di saat-saat
fase penting kehidupan Saya.
Lamaran berlangsung lancar, saya diterima keluarga Dian. Akad nikahpun
akan di selenggarakan Oktober nanti. Selain Ariq dan Mala yang datang dan
menemani saya jauh-jauh dari Jakarta, acara lamaran saya malam itu pun dihadiri
2 sahabat kecil saya lainya, Kamil dan Rifki. Yang tentu akan saya ceritakan di
tulisan lain tentang kami, Neurospora.
Terima kasih untuk semua orang yang peduli dengan saya. Hadir di saat
apapun kondisi saya. Doa terbaik untuk kalian semua.
*Saya menulis ini untuk
mendokumentasikan ingatan saya lewat tulisan. Ingatan akan hilang, sedang
tulisan tidak. Begitu katanya. Niatnya sederhana, hanya untuk mengenang. Nanti
jika salah satu dari kita terlebih dahulu pamit dari dunia, anak-anak dan cucu kita
bisa membaca. Mungkin bisa jadi dasar untuk menjaga kebersamaan di antara
mereka. Kalau orangtuanya bersahabat sampai ajalnya.
0 bersenandung kritik