Kalimat Sederhana di Malam 9 Juni

9:11:00 PM






Pukul 23.40 aku masih berada dalam ruang tamu disebuah rumah kos berlantai dua di Dramaga. Tentu sudah beberapa kali satpam berkeliling dan menegur. Jam malam katanya. Tapi beberapa kali pula aku berusaha meminta waktu. Maklum perjalanan Jakarta-Bogor menguras habis seorang manusia sedang membendung kata dalam pikirannya.

Badan yang lelah akibat berkendara dari Jakarta-Bogor tentu bukan menjadi halangan untuk tidak menyatakan perasaan malam ini. Aku rasa terlalu resah jika meninggalkanmu dalam kondisi menggantung. Pun sebaliknya. Jalan Parung yang gelap hanya terasa hambar jika aku pulang tanpa mengucap satu dua kalimat penutup malam ini. Riuh lampu-lampu remang akan menambah kegelisahan. Sungguh dilematis atau hanya aku saja yang membuatnya seakan dilematis? Entahlah.

Sudah seminggu pasca kamu menghilang begitu saja dalam sebuah percakapan yang terputus. Tanpa aba-aba, kamu bak ditelan bumi atau seakan ditenggelamkan dalam-dalam ke dasar palung mariana. Hilang entah kemana. Masuk ke dimensi lain yang aku tak tahu dimana. Tak tahu akan harus mencari kemana dan dimulai dari mana.

Dalam kegelisahan dan rasa penasaran. Aku mencarimu. Tampa bekal utuh. Hanya serpihan ingatan yang aku gali untuk mencari infomasi tentangmu. Singkatnya. Aku berhasil menemukanmu dalam gang-gang kecil diluasnya Dramaga. Bertanya dari satu manusia ke manusia lain. Berharap dari satu jalan ke jalan lain. Dengan hanya berbekal nama dan ciri-ciri yang aku tau tentangmu. Sebuah bekal yang berat bagi seorang awam yang baru mengenal dirimu.

Mencari seseorang yang aku yakini bukan sebuah halusinasi. Karena aku ingat, aku memberimu kertas kecil sebelum aku turun di stasiun Pondok Ranji. Pasca kita bercerita banyak hal disamping bapak tua yang asyik membaca buku tentang ‘Haji dan Umroh’. Tentu ia tidak menghiraukan kita yang duduk saling berhadapan. Bertukar cerita dan kesukaan. Aku memberimu sebuah tulisan sederhana dengan spidol hitam bertuliskan "dimulai dari sini". Pertanda saat kakiku menuruni peron nanti. Dan keretamu berlanjut menuju stasuin berikutnya. Mulai menjauh sampai hilang dari pandangan. Saat itu pula aku akan berjanji akan menemuimu kembali.

Beberapa hari sebelum kamu hilang. Baduy memberikan ceritanya yang sederhana. Aku yang saat itu hancur lebur akibat gagal dalam percintaan harus menepi menuju desa Giri Jagabaya. Menenangkan diri dari hirup pikuk kota dan media sosial yang sedang memojokkanku. Ketimbang harus menjadi pesakitan yang terus mengurung diri dalam sebuah altar kebencian, aku memilih untuk mengansingkan diri. Sebuah metafora yang berlebihan memang. Tapi ya begitulah kondisinya.

Pertemuan yang cukup unik. Alam memberikan rahasianya. Jika sebagian besar pertemuan kekasih diawali dari sebuah hal yang manis atau romantis. Mungkin kita jauh dari kalimat itu. Menemanimu buang air besar disalah satu rumah warga menjadi awal perkenalan. Setelah itu bisa ditebak. Seorang lelaki putus cinta yang kosong sepertiku mendapatkan harapan baru. Ku buang bungkus-bungkus rokok saat tau kamu tidak suka asap rokok, memandangmu diam-diam dari gubuk, saling lirik dalam acara api unggun, bercerita seputar hidup di atas mobil Elf pak Toha menuju perjalanan pulang ke Rangkasbitung, menyusuri Baduy luar bersama-sama dan foto di atas elf di sebuah gapura desa menjadi kenangan tersendiri saat itu. Sebuah kebahagian yang sederhana.

Malam di kosan berlantai dua Dramaga. Waktu semakin sempit. Satpam belum lagi berkeliling dan menegur. Dingin kota Bogor terasa beda saat itu. Angin hilir mudik mencoba merayu. Jaket hitam tipis yang aku kenakan gagal membendung dingin angin. Bibirku pucat. Kamu membawakanku air hangat di sebuah gelas. Kita duduk di ruang tamu kosan. Tak ada dialog apapun. Hening.

Tak lama aku pamit. Perlahan berjalan keluar kosan dengan gundah. Kamu mengikuti dari belakang. Pelan. Waktu seakan berhenti sejenak. Aku tahu aku harus mengatakannya malam ini. Tidak ada waktu lagi. Seakan besok Dramaga akan hilang dari peta dunia. Hilang entah kemana. Didepan rumah kosan berlantai dua. Aku mencoba berkata apa yang aku mau ucapkan. Kata yang sederhana. Yang telah ku sederhanakan dalam pikiran sedari tadi. Hanya saja sulit untuk dijabarkan dalam kata. Mungkin ini sebuah awal. Dengan terbata-bata. Gagap. Aku coba menghela nafas.

Selapas aku bicara. Kamu tersenyum. Mengangguk. Tanda penerimaan yang tulus. Akupun tersenyum. Lega. Aku cubit pipimu tanda gemas. Aku berpamitan dengan membawa bekal kebahagian. Kembali menuju Jakarta. Tidak lagi dalam kesepian. Ada kebahagiaan yang membuncah. Esok ada seorang perempuan yang menyapa dan menanyakan hari-hariku. Kehilangan yang dulu telah tertutup.

Hari ini tepat 4 tahun lalu. Pada malam 9 Juni aku beranikan mengucapkan kalimat sederhana itu. Tulisan ini akan jadi sebuah memori sederhana untuk kita. Mungkin akan jadi rujukan jika nanti kita ada dalam kondisi saling bersebrangan. Untuk kembali mengingat dari mana kita berasal. Terimakasih untuk semua.

Amry Al Mursalaat
9 Juni 2020

You Might Also Like

0 bersenandung kritik

Like us on Dafont