Sebuah Filosofi dari Roti Bandung Kacang Cokelat
9:45:00 AM
“Bu kacang cokelatnya satu” pintaku
Entah sejak
kapan Aku mulai suka dengan roti Bandung kacang cokelat. Rasanya mungkin biasa
saja bagi sebagian orang, karena kebanyakan lebih memilih roti-roti yang mungkin
sedang hits. Tapi sebagian orang lainya itu masih setia dengan menu-menu lawas
yang memang sangat memanjakan rasa.
Malam ini Aku
pulang agak larut dari kantor. Bukan karena lembur, Aku sedang asyik saja
dengan kegembiraan yang Aku buat dengan teman kantor. Menyanyikan lagu Ebiet
atau lagu-lagu lawas lainya. Ya, mencari hiburan tak mesti mengeluarkan uang
banyak toh? Sepulang dari rutinitas itu, entah dari mana ide itu muncul.
Padahal Aku tak sama sekali melihat video-video masakan di Instagram yang
menjadi kesukaan Aku. Ide membeli roti Bandung itu akhirnya bergerilya dalam
pikiran dan akhirnya membuat Aku harus sedikit lebih lama pulang untuk mampir
di salah satu pedagang roti Bandung.
Aku sudah
beberapa kali ke tempat ini. Menurut Aku rasanya lebih enak ketimbang di tempat
lain. Ya walaupun ini masalah lidah, tapi Aku beranggapan tempat ini jauh lebih
baik ketimbang di tempat lain, terutama dalam rasa cokelat dan kacangnya. Yang
melayani Aku adalah seorang ibu berusia kurang lebih 60 tahun, dengan rambut di
ikat dan logat jawanya yang kental.
Aku sampai
disana dengan masih keadaan memakai headset. Masih sembari menelpon kekasihku
di ujung telepon sana. Maklum, kadang perjalan pulang dari kantor ke rumah Aku
siasati untuk berdiskusi atau sekedar ngobrol ringan. Jalanan Jakarta yang
lenggang membuat nuansa itu menyenangkan. Dengan masih memakai headset dan
helm, Aku memesan roti
“Bu, kacang cokelatnya satu” pintaku sembari menunjuk jari
lalu duduk di kursi.
Ibu ini jaga
sendirian, gerobaknya agak lesuh masih sangat nunasa lawas dengan bertuliskan
“Roti bandung” font seadainya berwarna
merah. Aku masih duduk melihat ibu itu mengolesi selai dan beberapa taburan
ceres. Dengan cekanan mulai menggorenganya dalam sebuah wadah persegi yang
mirip seperti penggorengan. Baunya mulai hilir mudik di dekat hidung bercampur
dengan bau masakan lainya dari pedangan lain. Aku masih diam dan mengobrol
dengan kekasih.
“Sudah jam berapa yah sekarang de?” tanyanya. Sontak aku
terkadet karena samar sekali suaranya. Aku langsung copoti headsetku. Dan mulai
menyakini kalau yang ia tanya adalah jam
“Oh ini Bu jam 11” jawabku sambil melihatkan jam ke arahnya.
“Udah malam ya”
“udah mau tutup bu, tapi masih ada rotinya” jawabku sambil
melirik ke arah tumpukan roti yang ketika aku hitung ada sekitar 7 potong lagi.
“Iya mau pulang nunggu suami, lanjut besok aja”
Selang beberapa
menit roti pesananku jadi, ia membungkusnya dengan cepat.
“Ini de rotinya”
“Mau nunggu habis dulu Bu baru pulang atau gimana”
“Akh engga, alhamdulillah sudah cukup besok lagi aja di
lanjut”
“Biasanya suamiku sudah datang jam segini” lanjutnya
Aku mulai
duduk kembali di kursi sambil memegang pesanan dan mulai mematikan telpon
kekasih. Helm pun aku buka dan duduk santai di samping Ibu itu.
“sudah berapa lama dagang bu”
“Wah udah lama, 10 tahunan”
“dagang roti ini bu?”
“Iya, kalo suami mah udah dari 98” katanya. Ternyata suaminya
juga berjualan Roti yang sama tapi berbeda tempat.
“Anak saya 3, yang pertama dan kedua sudah menikah, tinggal
anak bontot aja nih yang masih di urusi”
“semua kerja Bu?”
“Anak pertama sama lulus tahun 2012 di jurusan Ekonomi,
dulunya dia jualan asongan buat uang jajan. Engga tau yah dia gigih banget,
saya kadang suka sedih gak bisa ngasih di jajan. Pass kuliah juga biaya sendiri
dari dagang macem-macem” logat jawanya kental sekali.
“wah itu mah keren bu, mungkin doa orang tua” kataku.
“Anak saya nikah sama orang kaya, menantu ibu ngiranya anak
saya anak orang kaya. Padahal saya jualan roti ginian. Engga tahu deh tuh
kenapa. Anak saya dak malu, pernah di bawa kemari pass dulu pacaran”
“saya jadi inget Ibu saya di rumah, jualan di kantin juga”
jawabku sambil tertawa.
“Dari jualan roti ini saya bisa nguliahin anak saya. Anak
kedua kuliah di Budi Luhur, sekarang anak yang bontot kuliah di Pertamina. Ya
alhamdulillah.”
“Saya selalu peduli sama pendidikan, biar deh saya kerja
keras biar anak yang belajar. Berapa aja saya keluarin. Buat les sampai beli
buku ini itu. Saya gak peduli sing penting pada pintar. Biar saya yang peras keringat
sama bapak. Jangan sampai bodoh kaya bapak ibunya”
“….” Aku mulai tak bisa berkata selain fokus mendengarkan
“pacarmu orang mana?”
“Oh itu Bu Pekalongan, di Batang sih”
“Sudah lamaran? Atau gimana”
“Sedang menabung aja Bu, doakan tahun depan”
“Ibu doakan cepatlah yah” Jawabnya sambil terkekeh
Selepas itu
saya pamit pulang dengan segala pikiran di kepala. Tentang filosopi kehidupan
yang sederhana dari seorang Ibu. Jam yang lumayan larut masih bergerilya
mencari uang demi tujuanya, demi suatu yang di pegang teguh. Pendidikan anak
adalah nomor satu tak bisa di ganggu gugat. Menyekolahkan anaknya dari bejualan
roti itu sebuah hal yang luar biasa. Kehidupan sang Ibu mungkin tak semanis
rasa cokelat kacang yang ia selalu sajikan untuk para pembeli. Tapi apa yang ia
ceritakan untuk seorang aku yang masih kadang tak bersyukur atau kehilangan
motivasi hidup bak seperti sebuah sajian menu yang sangat sangat saya nikmati.
Kadang kita
mungkin tak sadar dengan realitas di sekeliling kita. Sebuah hal yang mungkin
biasa saja tapi bisa menumbuhkan sebuah semangat baru untuk kedepanya. Sebuah
lecutan motivasi yang mungkin tak terkira dan tak terduga. Ya seperti malam
ini, aku belajar tetang filosopi kehidupan dari seorang Ibu Roti kacang
cokelat. Yang pada akhirnya harus saya tulis sebagai pengingat mala mini saya
memakan menu yang luar biasa nikmat, sebuah Filosopi Roti kacang cokelat.
Ryal,
03122018
03122018
0 bersenandung kritik