Tentang Rasa Malu
7:44:00 AM
Tak terasa sudah hampir setahun gue
lulus dari kampus di bilangan Ciputat. Kampus yang mengajarkan gue bagaimana
menjadi seorang pendidik yang baik dan sesuai dengan kaidahnya sebagai
pendidik. Mengajarkan gue bagaimana membuat Rpp, Silabus, Program semester, dan
bla-bla-bla terkait dengan dunia pendidikan. Ya, hampir setahun pula gelar ,S.Pd
di belakang nama tersandang. Katanya sih, ini katanya loh, sebagian orang
menganggapnya suatu kehormatan dan hal yang patut di sombongkan, tapi itu untuk
sebagian orang, bukan termaksud gue, kenapa? Ini semua tentang rasa malu.
Mengapa semua tentang rasa malu? Bagaimana
bisa elo yang udah berusaha mendapatkan gelar, dari elo ikutan UTS, UAS, bayar
semesteran, bayar kosan, bangun pagi, ngerjain skripsi, berapa jumlah kertas
yang habis buat di print, berapa capenya ngejar dosen pembimbing dan sampe
akhirnya elo bisa lulus terus mendapat gelar sesuai jurusan elo malah bilangnya
malu? Oke, gue bakal sedikit berbagi cerita …
Jadi begini ceritanya, setelah
kelulusan setahun yang lalu dan di barengi juga dengan lulusnya teman-teman di kampus lain pula. Hampir separuh angkatan gue terutama teman-teman SMA
mendapatkan gelarnya masing-masing, ada yang S.Pd, S.Hum, S.Sos, dan
sebagainya. Dan gue menyakini mereka telah menepuh jalanya masing-masing sampai
akhirnya bisa mendapat gelarnya, gak mungkin bim sala bim dapet gelar, kita bukan lagi di jaman seribu satu
malam toh. Walapun agak sering juga masih dengar ada temen yang katanya ngampus
tau-tau dapet gelar, ah tapi itu urusan beda. Lain kali mungkin gue bahas. Lalu
dimana hal yang buat gue ganjil dengan pemakaian gelar? Moment simple itu datang
ketika salah satu teman menyebar undangan pernikahan. Ya, ketika teman yang
mengundang lupa menaruh tittle sarjana
di salah satu teman yang di undang. Mungkin percakapanya begini …
“ini nama gue salah nih” kata salah teman yang gue inisialkan
A.
“Salah apanya?” Tanya yang punya hajat.
“udah pake gelar sarjana, S.Hum cape dapetinya” candanya.
Mungkin
sebatas candaan, tapi gue mengartikan lain. Enggak sedikit pasti kita merasakan
hal yang sesimple ini. Ya, ini sangat sepele kelihatnya. Tapi menyombongkan
gelar sepatutnya di dasari pula dengan sejauh mana kita telah mempertanggung jawabkan
gelar kita tersebut. Enggak sedikit orang yang pamer gelar ini dan itu tapi
dalam hal keilmuan lulusan jurusanya nihil, jeblok dan sepatutnya di
pertanyakan kok bisa lulus? Engga sedikit lebih pintar orang-orang yang tidak
mendapat gelar tapi berusaha membaca dan berusaha mencipta, lihat Bill Gates,
Mark Zuckerberg, Steve Jobs, Michael Dell atau orang lain yang mungkin namanya
tak setenar mereka. Namun mereka telah membuktikan gelar bukanlah segalanya. Oke
balik lagi, teman gue merasa risih ketika namanya nggak di barengi gelarnya. Dia
merasa susah, sulit buat mendapatkan tittle
itu. Lalu bagaimana tentang keilmuan yang empunya gelar? Hal yang paling
memalukan adalah ketika gelar yang di sandang tak sebanding dengan keilmuan
yang empunya gelar. Dan itu banyak terjadi.
Kemudian
rasa malu gue pun tumbuh, sebenarnya sebelum lulus dan di legalkan dengan
pemindahan toga wisuda, gue sudah mulai malu sendiri make nama gelar gue. Di tambah lagi, gue lulusan pendidikan yang pancen oye kalo kata iklan oskadon, ya
bakalan ngajar di depan kelas dan jadi guru yang pastinya punya murid. Belum percaya
dirinya wawasan gue tentang dunia jadi kendala. Ya jelas, elo jadi guru kalo
minim wawasan bagaimana nasib anak muridnya? Di tambah lagi sebuah perkataan
salah satu sastrawan panutan gue, Pramoedya Ananta Toer:
“Jangan tuan terlalu percaya dengan percaya pendidikan sekolah. Seorang guru
yang baik masih bisa melahirkan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya, yang sama
sekali tidak mengenal prinsip, apalagi kalau guru itu sudah bandit pula pada
dasarnya”
Ini yang
buat gue makin malu tentang pemakaian gelar, lebih menunjukanya ketika hanya dibutuhkan. Ini hanya bagi gue yang bakal jadi
calon guru, mungkin jurusan lain bakal ada perenungan yang lain pula. Dan dapat
menyadarkan dirinya sendiri apa yang membuatnya pantas menyandang gelar atau
merasa malu, lalu lebih memilih kembali belajar serta fokus tentang menambah wawasan
jurusan lulusanya ketimbang sibuk memerkan gelarnya.
“gelar ya hanya sebuah 3-4 huruf yang hanya di pisahkan titik, Bukan begitu? “
Gelar itu akan hilang makna jika tak
di barengi suatu keilmuan yang lebih tentang jurusan yang telah kita selesaikan.
Ya, semua tentang rasa malu. Karena sejatinya, padi yang berisi akan semakin
merunduk, bukan begitu?
0 bersenandung kritik