Mengenang Dilan 1990
9:42:00 PM
“Jangan rindu,
ini berat, kau takkan kuat. Biar aku saja” begitu kata Dilan.
Di awal tahun 2018 para penikmat film romansa, ya
mungkin buat anak-anak kekinian di suguhkan sebuah film yang di angkat dari
sebuah novel best seller karya Pidi Baiq, Dilan 1990. Hemp, sebuah novel yang
enggak asing buat gue. Sangat tidak asing. Sebelum menelisik lebih jauh tentang
ini dan itu, gue sedikit cerita kenapa gue bisa tau siapa sih Dilan ini …
Gue akan memulai menguliti cerita dan balik di tahun
2015. Disaat putus cinta yang cukup tragis dengan kekasih yang cukup lama sudah
terjalin, oke-oke enggak penting juga sih di ceritain. Mungkin hampir semua
orang yang putus cinta akan mencari pelarian untuk melupakan apa yang sedang di
rasakan, atau ini gue doang yang melakukanya, entahlah. Tapi gue rasa
orang-orang melakukan apa yang gue lakukan. Berlanjut mencari sebuah pelarian
melupakan sakit yang amat dalam, gue yang kala itu masuk di semester akhir
bergelut dengan beberapa cara, salah satunya membaca buku. Kata salah satu
temen terdekat gue, membaca buku akan membuat fantasi baru, terus doi lanjut
bilang bisa meredam sakit hati gue atau sekiranya elo bisa lupa sesaat dengan
apa yang elo rasa karena terlalu sibuk dengan fantasi tentang buku yang elo
baca. Siapa orang yang ngak mau merasakan lupa sesaat kala di kondisi seperti
gue? Membaca buku jadi jawaban pelarian gue akhirnya. Dan buku recommend yang harus
gue baca adalah “Dilan 1990” karya Om Bidi Baiq (manggilnya om aja bilang
terlihat akrab).
Sebenernya nama Om Pidi Baiq juga engga asing buat gue.
Sejak semester 3, sewaktu pertama kali main kekosan temen yang ujungnya jadi
bagian kosan itu, lagu-lagu The PanasDalam sudah jadi bagian dari sore setiap
sepulang kuliah. Sebut saja judul koboy kampus, cita-citaku, Jatinangor sampai
lagu yang paling kece menurut gue, kelamin uber ells sudah nyaman di
pendengaran gue. Ya kala itu gue hanya tau, Om Pidi hanya seorang Musisi,
dengan band bernama The Panas Dalam. Hanya setelah itu gue baru tau Om Pidi juga
menulis buku-buku. Sebelum membaca Dilan 1990, gue sudah tertawa duluan membaca
buku Dranken Mama, karya Om Pidi.
Jadi kapan gue membaca Dilan 1990? Gue sangat ingat, di
salah satu rumah teman di Bogor, disebuah ruang tamu lantai 2, bersandar di
tembok dengan sebatang rokok Filter yang sudah setengah batang dan tentu saja
dengan kopi hitam. Ketika membaca Dilan, gue seperti di ajak bernostagia di
masa-masa gue SMA dulu. Bergelut dengan memori itu kadang tak enak, apa lagi
disaat elo berusaha melupakan seseorang yang sejak SMA sudah jadi bagian hidup
elo. Lembar demi lembar sudah gue lahap, gue baca dengan satir yang sangat
berasa. Gue di ceritakan seorang pemuda bernama Dilan, yang kasmaran dengan
Milea. Tapi apa yang buat beda? Caranya menyampaikan romantisa ke pada Milea,
mungkin itu garis besarnya. Siapa juga yang kepikiran memberikan kado berupa buku
TTS yang udah di isi penuh ke seorang cewe yang mau di deketin dengan dalih
biar si cewe engga gak pusing ngisinya? Ya begitulah cara Dilan. Gue gak habis pikir
sampai kesana. Cuma Dilan cukup cerdas dalam menyampaikan romantisa dengan cara
sederhana tak lebay.
Mengahambiskan buku yang lumayan tebal itu, cukup
memakan waktu sekian jam. Ya novel Dilan 1990 pertama selesai gue lahap. Berlanjut
ke buku kedua dengan judul yang sama Dilan 1991, cuma beda angka tahunya aja. Posisi
gue juga masih sama, di salah satu rumah teman di Bogor, disebuah ruang tamu
lantai 2, bersandar di tembok dengan sebatang rokok Filter yang sudah puntung
dan tentu saja dengan kopi hitam yang sudah tinggal ampas. Fantasi gue
bergerilya, seakan menjadi Dilan di era 2000an. Benar kata teman gue, sekejap
gue lupa dengan beban batin yang gue rasakan kala itu. Fantasi gue lebih sibuk
bermain dengan sosok Dilan dan Milea.
Gue juga ingat, saat itu belum banyak yang tahu Om
Pidi. Enggak sedikit orang yang bilang aneh ketika gue menjadikan kata-kata
dari buku Dilan 1990-1991 di status Bbm dan Twitter. Apa lagi kalo gue putar
lagu-lagu Om Pidi di lingkungan luar kosan, bakal di bilang lagu ngak jelas,
itu sudah pasti. Lalu bagaimana dengan sekarang? Sejak isu bakal di film kan,
mungkin gue yang salah satu sangat menunggu. Apa lagi melihat sosok Dilan dan
Milea dalam bentuk asli bukan fantasi yang selama ini gue pikir. Ya walaupun
bukan sosok aslinya, seengakya dicari yang mirip tokoh aslinya, begitu pikir gue.
Namun realitanya berubah 360 derajat. Jungkir balik, ketika traillernya gue
lihat di Youtube. Gue salah satu yang kecewa berat.
Ada yang bertanya, “gimana mau nonton Dilan 1990 enggak?”
gue selalu bilang “enggak tertarik ah”. Mengapa sampai sejauh itu? Dilan dan
Milea adalah salah satu jawaban atas kegundahan gue saat itu. Buku yang membuat
gue sedikit lupa beban batin.
“Biarkan Dilan menjadi fantasi dalam pikiran. Bukan Iqbal
Junior bukan siapapun.”
Disaat Dilan yang dulu gue kenal sebagai sosok fantasi
yang luar biasa dan sekarang menjadi sosok yang alay dan bertebaran
dimana-mana. Pilihan gue cuma bisa mengenang dimana gue membacanya dalam
tenang, dan menikmati getir rasa gue kala itu. Terima kasih Dilan…
0 bersenandung kritik