Rawa Belong - Pekalongan: Pengalaman Mudik Pertama Anak Betawi

8:36:00 AM



Mudik Ke Bundaran Slipi

Mama pernah cerita di usia balita, saya pernah merengek luar biasa mau ikut mudik tetangga ke Purwakarta. Rengekan saya tak berhenti dan makin menjadi. Sampai Ayah berinisiatif untuk mencari kardus Indomie, mengikatnya dengan tali seperti orang-orang mudik di televisi. Sehabis itu saya digendong, lalu menuju ke pinggir jalan. Ayah mengajak saya naik becak dengan tujuan Bundaran Slipi. Di atas becak saya bertanya ... 

"Mudik kayak gini yah?" 

"Iya, mudik kan kembali ke rumah. Nah sekarang kita saatnya pulang ke rumah," begitu ucap Ayah ketika becak sampai di Bundaran Slipi dan meminta abang becak kembali ke tempat awal saya dan Ayah naik becak.

Saya dan Ayah kembali ke rumah. Saya yang saat itu masih balita senang dan gembira. Merasakan mudik ala-ala buatan orang tua. Ah dasar orang Betawi, banyak akal! 

... 

Sebagai warga Jakarta yang benar-benar asli Jakarta, aktifitas mudik bak aktifitas yang tak pernah dilakukan. Jika jalan beberapa meter untuk ke rumah kakek dan nenek bisa dibilang mudik, waktu mudik yang saya butuhkan tidak sampai 10 menit sampai di kampung halaman. Rasa-rasanya konsep mudik kebanyakan bukan begini. Oleh karenanya, sampai saat ini saya belum pernah melakukan perjalanan mudik.

Ayah saya orang Jakarta. Keluarga Ayah semua ada di Kemanggisan dan sekitarnya. Mama juga orang Jakarta karena semua keluarga Mama ada di Rawa Belong. Jarak keduanya mungkin tidak sampai 20 menit kalau naik motor dengan santai. Jadi aktifitas mudik kami sekeluarga setidaknya tidak perlu macet-macetan dan antri beli tiket sana ke sini. Cukup persiapan di hari H saja semua bakal beres. Silaturahmi berjalan dengan aman dan nyaman di kampung halaman. Tentu kalau ini memang dinamakan mudik. 

Namun berbeda di lebaran kali ini. Saya yang anak Betawi akan merasakan hal yang berbeda. Seperti yang saya bilang di atas, salah satu syarat bisa mudik bagi orang Jakarta ialah menikah dengan bukan orang Jakarta. Dan itulah yang saya lakukan. Pasca menikah dengan Dian, obrolan tentang lebaran jadi lebih sistematis. Ya, kami harus membagi waktu antara keluarga saya di Jakarta dan keluarga Dian di Subah, Batang, Jawa Tengah. Tahun pertama kami menikah, Dian merayakan lebaran di Jakarta. Di tahun kedua ini kami merencanakan untuk balik ke Subah dan berlebaran di sana. Inilah konsep adil yang kami coba terapkan dalam berumah tangga. 

Dan ini lebaran pertama saya jauh dari keluarga di Jakarta. Kalau ditanya perasaannya bagaimana? bagi saya rasanya campur aduk. Semua perasaan campur jadi satu. Saya yang biasa memantau berita mudik di media, kini merasakan sendiri euforia migrasi manusia di satu momentum yang mungkin terbesar di dunia. 

Karena saya tidak mau kehilangan momentum. Menuliskan pengalaman yang luar biasa ini jadi sebuah keharusan bagi saya. Saya merangkumnya jadi beberapa bab agar mudah dibaca. Silakan menikmati.

Mencari-cari Tiket Menuju Kampung Halaman

Jauh sebelum bulan suci Ramadan, saya dan Dian sudah sibuk melihat jadwal pembelian tiket. Jangan sampai kehabisan! Kali ini kami memilih untuk naik kereta api. Ada beberapa pertimbangan memilih akomodasi ini. Pertama, saya lebih nyaman untuk naik kereta api ketimbang bus. Mungkin untuk orang yang biasa buang hajat (sering buang air besar), kereta api lebih aman dan nyaman ketimbang bus yang harus menunggu waktu istirahat di rest area. Kedua, sebenarnya bisa memilih pesawat terbang, namun berdasarkan pengalaman Dian selain tiket lebih mahal kita juga akan menambah pengeluaran lain karena pesawat akan tiba di bandara Ahmad Yani Semarang dan butuh pengeluaran untuk perjalanan ke Subah, Batang. Akhirnya pilihan naik kereta memang hal yang paling tepat dan efisien. Sebenarnya ada cara lain lagi yaitu naik mobil pribadi. Sayang sampai tulisan ini ditulis niat saya buat les mengemudi selalu gagal. 

Sebagai pengatur keuangan rumah tangga (Menteri Keuangan dalam Rumah Tangga atau MKRT) Dian jauh-jauh hari sudah mengatur saya untuk menabung, alih-alih hanya mengandalkan THR. Kami mempersiapkan uang mudik dari uang gajian yang kami kumpulkan 4-5 bulan sebelum lebaran. Hal ini juga baru untuk saya. Tapi ketika tulisan ini dibuat dan saya sudah ada di Subah. Hal itu sangat amat bermanfaat. Alokasi uang jadi lebih meringankan. 

Tiket sudah terbeli. Kereta Argo Muria dengan jadwal keberangkatan Senin, 27 April 2022 pukul 07.05 jurusan Jakarta-Pekalongan dari stasiun Gambir sudah di tangan. Satu step aktifitas mudik sudah selesai. Perjalanan pertama mudik saya akan dimulai. 

Perjalanan Menuju Subah

Perjalanan dari stasiun Gambir menuju stasiun Pekalongan memakan waktu sekitar 5-6 jam. Di kereta seperti perjalanan sebelumnya kalau pulang ke rumah Bapak dan Ibu, saya habiskan dengan ngobrol dengan Dian dan sesekali mendengarkan musik sembari melihat hamparan sawah. Kadang saya berpikir saat-saat melihat sawah "bagaimana yah kalo nanti enggak ada petani lagi gara-gara sawahnya terus beralih fungsi jadi lahan fungsional kaya pabrik gitu? Apa kita akan jadi pengimpor beras dari negara tetangga?" Pikiran yang sebenarnya mungkin penting tapi kadang jadi angin lalu. Siapa peduli dengan sawah di negara +62. Bukannya yang penting investasi dan pembangunan berjalan? Masalah nanti jadi pengimpor beras bisa dijawab dengan lugas "Jaman berubah saatnya Indonesia menjadi negara maju! Dari negeri agraris menjadi industri." 

Saya dan Dian tiba di Pekalongan sekitar pukul 12 siang. Waktu buka puasa rasanya masih jauh. Udara Pekalongan hari itu sangat bersahabat. Awan mendung membuat angin terasa lebih sejuk. Turun dari kereta disambut lantunan musik jawa. Terasa seperti di acara resepsi namun tanpa prasmanan dan tamu undangan. Yang ada hanya kerumunan orang-orang kota yang sedang menuju kampung halaman masing-masing sambil memikul kerinduan dua tahun ini tidak mudik karena pandemi. 

Dari stasiun Pekalongan ke rumah Dian masih cukup jauh. Kami harus menaiki angkutan umum dari terminal. Kami harus menaiki minibus seperti metromini di Jakarta. Dengan bayaran 10 ribu rupiah seharusnya kami akan tiba di depan rumah Dian yang memang berada di pinggir Pantura. 

Yah namanya juga SJW lokal Jakarta. Ada aja yang pengen dikomentari. Melihat transportasi penghubung antara Pekalongan ke wilayah penyangga seperti Batang, Subah dan Limpung, rasanya miris saja. Transportasi yang tersedia hanya mobil ini yang jumlahnya jarang dan mungkin umur mobil yang sudah cukup tua. Belum ada integrasi transportasi seperti di Jakarta. Walaupun ya nggak bisa dan nggak masuk akal membandingkan dengan Jakarta. Tapi rasa-rasa seharusnya pemerintah setempat bisa meremajakan transportasi atau membuat pilihan transportasi lain. Toh pembangunan transportasi yang layak bukannya bisa membangun perekonomian di wilayah-wilayah lainya juga? 

Menjelang sore saya dan Dian sampai di rumah Ibu dan Bapak setelah sekitar satu jam naik metromini khas Pekalongan yang bisa ngebut dan salip kiri-kanan di Pantura. Kami disambut dengan rumah berwarna kuning, halaman yang luas serta bising truk di Pantura yang hilir mudik.

Ohya, menjelang buka puasa ada hal baru lagi yang saya tahu. Yaitu perihal jam berbuka puasa. Di Subah, patokan berbuka puasa adalah waktu berbuka puasa Semarang di televisi. Namun agak akal-akalan sedikit. Kita harus berbuka setelah adzan di Semarang selesai. Jadi tidak seperti Jakarta, saat adzan kita bisa langsung berbuka. Disini kita harus menunggu adzan di Semarang selesai baru bisa berbuka puasa. Atau cara lainnya bisa keluar rumah dan pasang kuping terang-terangan buat mendengar suara adzan dari masjid terdekat dengan bisingan suara truk Pantura. Sangat butuh konsentrasi memang!

Pesan Toleransi Ibuk Bapak

Nggak terasa beberapa hari berpuasa di rumah ibu dan bapak. Malam ini sudah takbiran. Sedari sore Ibu sudah siap-siap masak kudapan lebaran. Benar kata Dian, di Subah nggak ada sayur ketupat seperti di Jakarta. Makanan spesial lebaran di sini adalah lontong dan opor ayam. 

Selepas sholat isya, Ibu meminta saya mengantar kudapan ke rumah sahabat karibnya. Ibu seorang pensiunan bidan di Subah. Dulu tinggal di rumah dinas. Dan malam lebaran seperti ini biasanya mengirimkan kudapan lebaran ke sahabat-sahabatnya yang sesama pensiunan tenaga kesehatan di Puskesmas Subah. 

Di jalan ibu bercerita. Kalau sahabatnya ini non muslim. Kristen kata ibu. Tapi karena persahabatan yang sudah lama dan banyak asam garam pengalaman ketika mengabdi menjadi nakes tidak ada batasan atau penghalang untuk bersahabat dan merayakan hari raya bersama. Ibu selalu kirim kudapan setiap lebaran dan begitupun ketika Natal sahabat ibu berkunjung ke rumah. 

Nilai-nilai toleransi beragama yang indah. Di jalan saya berpikir "walah sentimen antarumat beragama apa cuma ada di kota aja yah?". Semoga polarisasi atau sentimen yang sengaja dibuat di kota tidak menjalar ke desa-desa kecil macam ini. Biarkan toleransi beragama dis ini terus bersemai. Dan menumbuhkan rasa cinta antarsesama manusia. Terus memanusiakan manusia.

Festival Takbiran

Jauh sebelum pulang kampung, Dian selalu bilang malam takbiran di Subah meriah banget. Karena ada festival takbiran tingkat Desa Jatisari. Apalagi selama dua tahun pandemim festival ini enggak berlangsung. Tahun ini katanya bakal rame banget. 

Setelah mengantar ibu dan balik kerumah. Saya dan Dian bersiap untuk ke lapangan desa. Acara festival takbiran akan dimulai di sana. Pantura malam itu mulai ramai. Gema takbir sahut bersahutan dari surau ke surau. Bahkan beberapa truk berisi banyak orang memakai sound system mulai lewat depan rumah dengan suara yang kencang. 

Kami tiba di lapangan desa Jatisari sekitar pukul 20.00 WIB. Benar kata orang kota, "lebaran di desa pasti rame." Kini saya menyaksikan dengan jelas. Lapangan penuh dengan orang-orang yang mungkin sedari isya sudah duduk-duduk di rumput. Entah bersama keluarga, pacar atau teman sejawat. Semua menunggu hilir mudik peserta pawai yang datang silih berganti. 

Setiap peserta pawai datang dengan keunikan masing-masing. Saya pikir benar rasanya "kalau cari orang kreatif, carilah di desa aja deh!" Orang-orang dengan keterbatasan bisa saja membuat suatu hal yang luar biasa. 

Peserta pertama yang saya lihat adalah kumpulan anak muda yang datang memegang kembang kelapa dan papan Asmaul Husna yang terbuat dari kayu dan triplek. Bukan hanya anak-anak muda juga sih. Tapi juga ada anak-anak usia mungkin kelas 1-3 sekolah dasar yang semangat ikut berbaris mengikuti pawai. Walaupun saya sempat bilang ke Dian "anak-anak gini kayaknya dikit lagi ngantuk nih". Di luar dugaan saya, mereka ternyata tetap semangat sampai akhir acara. 

Silih berganti peserta pawai masuk ke dalam lapangan sepak bola desa Jatisari. Peserta-peserta ini datang dari perwakilan dari RT, mushola dan masjid. Perlahan para peserta berbaris di dalam lapangan. Dari banyak peserta yang datang dengan keunikan dan membuat saya tertawa. Ada beberapa yang memang di luar pikiran saya. Hampir tiap RT datang dengan drum band dipandu perempuan yang menjadi leader di depan barisan. Membuat gerakan yang unik. Berjalan serong kiri dan kanan. "Ini emang kuat yah jalan ngiter-ngiter kampung gaya jalannya kayak gini?" bisik saya pada Dian. Istri saya pun cuma tertawa dan membalas pertanyaan saya dengan “Ya kuatlah kan udah biasa setiap tahun!”. 

Jika saya adalah juri dalam pawai festival malam ini. Mungkin saya akan memilih beberapa peserta sebagai pemenang. Pilihan yang sulit dan butuh konsentrasi penuh dalam menentukan siapa yang layak jadi pemenang. Oke saya akan umumkan. 

Juara pertama saya berikan pada peserta yang datang membawa boneka Spongebob raksasa yang digotong ramai-ramai. Ini benar-benar out of the box. Walaupun agak susah menjelaskan mengapa memilih Spongebob? Mungkin tahun ini Spongebob menjadi mualaf? Atau ya bisa jadi si spons dari Bikini Bottom ini lambang dari kegembiraan dan keceriaan? Atau sebagai minoritas masyarakat di Bikini Bottom, Spongebob bisa saja adalah representasi masyarakat desa yang kadang hanya jadi lumbung suara para elite politik lalu ditinggal dalam menentukan kebijakan kampung itu sendiri. Sebagai juri, pokoknya ini juara pertama! 

Juara kedua jatuh pada peserta yang membawa boneka unta raksasa. Ini saya rasa juga unik. Siapa yang kepikiran membuat onta? Nggak takut di bilang "kadrun"? Dan untuk juara ketiga saya putuskan jatuh kepada peserta yang membuat truk dengan motor. Yang di sisi kanan dan kiri truk berisi kritikan tentang naiknya harga minyak goreng dan disisipkan foto Mas Al dan Amanda Manopo. Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat pokoknya! 

Pukul 21.00 WIB acara dimulai dengan sambutan lalu menyalakan kembang api dengan durasi yang lumayan lama yaitu sekitar 15 menit. Langit menjadi meriah. Penuh warna. Kilatan meramaikan malam kemenangan. Anak-anak kecil berteriak-teriak kegirangan. Setelahnya para peserta satu-satu keluar dari lapangan dan mulai mengitari desa Jatisari. Memeriahkan malam takbiran. Memberikan kabar gembira tentang kemenangan. Takbiran penuh keceriaan, kebahagiaan dan kebersamaan. Bagaimana kabar di Jakarta? 

Idul Fitri di Kampung Halaman

Pagi pukul 06.00 saya dan keluarga Dian sudah bersiap menuju lapangan desa Jatisari. Sholat Ied dilakukan bersama-sama di hamparan lapangan yang tadi malam dijadikan awal permulaan festival. Hari ini pertama kali pula bukan Mama yang mengetuk pintu untuk mengingatkan saya sholat Ied dan jangan sampai kesiangan. Mulai merasa jauh dari keluarga dan membuat perasaan saya kembali campur aduk. 

Saya sudah di barisan pertama shaf sebelah kiri. Sedangkan Bapak terus berjalan ke arah mimbar. Ternyata hari ini Bapak bertugas menjadi imam sholat Ied. Pukul 06.30 setelah sambutan dan beberapa acara, sholat Ied berlangsung. Semua khusuk. Langit begitu cerah. Tiada hamparan awan. Hanya langit biru yang nampak di atas kepala. Angin pagi hari itu juga cukup sejuk. Dingin dan membuat hikmat sholat Ied. 

Setelah sholat kami pulang. Rutinitas yang pertama ialah sungkeman ke Bapak dan Ibu. Meminta maaf jika saya mempunyai salah selama menjadi menantu. Selanjutnya sesi maaf-maaf saya dan Dian. Ritual yang sedikit serius tapi penuh canda. Gimana yah saya menjelaskannya. Saya percaya banyak cara untuk saling bermaafan. Saya dan Dian memiliki caranya sendiri. Bermaaf-maafan usai, kini lontong opor sudah menunggu. Saatnya mengisi perut yang kosong sedari pagi.

Sambil menunggu tamu, saya menelpon keluarga di Jakarta. Menelpon Mama yang mungkin sedih anaknya kali ini untuk pertama kali nggak berlebaran di rumah. 

Telpon diangkat, saya video call beberapa menit. Meminta maaf lahir dan batin sekaligus menyapa sanak keluarga via video. Saya sebenarnya tidak kuat dan agak melankolis. Jadi tidak lama untuk video call dan menyudahinya sebelum saya berkaca-kaca dan menangis. 

"Apa yang lebih layak reda lebih dulu dari badai, rasa marah," begitu kata Mas Danto.

Selamat Idul Fitri. Minal aidzin wal faidzin untuk kalian yang merayakan. Menjadi manusia yang terbaik dari sebelumnya. 

Hari-Hari Setelah Lebaran 

Hari kedua lebaran seperti kebiasaan lebaran di mana pun. Berkeliling ke sanak saudara jadi rutinitas wajib. Kali ini saya diajak untuk ikut ke rumah Bulek dan Om dari Dian. Walaupun sebelumnya saya tidak bisa dan belum hafal struktur keluarga dari bapak dan ibuk. Bahkan belum tahu bedanya Pakdhe, Budhe, Bulek, Pakleh. Orang baru memanglah harus terbiasa belajar banyak hal agar tahu dan mengerti dan itu yang saat ini saya rasakan.

Seperti dugaan saya sebelumnya. Pasti saya akan roaming di kumpul-kumpul keluarga. Bagaimana tidak? Semua orang berbahasa Jawa. Saya hanya paham dua kata "mboten" yang artinya tidak dan "nggeh" yang artinya iya. Ada beberapa kata lain namun saya kadang luput artinya dan terbolak-balik. Selebihnya Dian yang menjadi translator pribadi saya. Jika semua tertawa, saya akan ikut tertawa walau setelahnya menengok ke Dian minta diartikan. Ya begitulah saya di tengah obrolan-obrolan itu. 

Namun ada yang unik dan berbeda dari rutinitas kumpul keluarga di sini. Jika di Jakarta atau di perkumpulan keluarga lain ada ketakutannya pertanyaan "kapan blablabla…" yang jadi momok mengerikan dan harus hindari, selama berkeliling di sanak saudara Dian, saya tidak pernah mendengar atau ditanya perihal "kapan." Obrolan hanya seputar nostalgia, menanyakan kabar kesehatan, memberikan kabar duka yang mungkin terlewat, atau sesekali ajakan untuk mampir rumah saudara di Jogja, Pekalongan atau Semarang. Atau lebih sering semua terfokus pada balita kecil yang membuat hangat suasana. Tidak ada pertanyaan kapan dan kapan yang penuh basa-basi. Pertanyaan seperti itu seharusnya dimasukan dalam kotak lalu diikat dan ditenggelamkan ke dalam paling terdalam bumi. 

Ohya, ada satu forum yang mungkin cukup seru. Ketimbang bertanya kapan dan kapan. Di satu momen salah satu Om Dian bernama Om Bambang, malah membuka topik tentang kerusakan lingkungan. Mulailah obrolan mengalir ke masalah AMDAL, RTRW, PLTU Batang, Wadas sampai perpindahan ibu kota negara yang sedang hangat. Saya rasa ini menyenangkan, bertukar pikiran dengan sanak keluarga Dian. Walaupun saya tidak banyak tahu, tapi diskusi berjalan setara. Saya banyak belajar dari Om Bambang yang ternyata cukup keras melawan perusakan lingkungan di Batang. Padahal bekerja di instansi pemerintah. Obrolan ditutup dengan dengan kalimat "bagaimana pemerintah hanya mementingkan investasi tanpa mau tau dampak kerusakan alam yang dirasakan rakyatnya? Nantilah kita lanjut, jangan lupa mampir ke rumah Om di Batang, Mri". 

Hari ketiga saya dan Dian berniat mengunjungi beberapa tempat, pertama pantai Ujung Negoro dan melihat dari dekat PLTU Batang. 

Kami jalan pukul 06.00 dari rumah di Subah menuju Pantai Ujung Negoro ke arah Batang. Kami pikir ini cukup pagi dan pantai agak sepi. Ternyata tidak! Suasana pantai sudah cukup ramai dan padat. Ternyata yang berpikiran jalan pagi bukan hanya kami, tapi puluhan orang juga berpikir sama. Sial!

Kami makan nasi megono yang dipesan di salah satu warung di tepi pantai. Nggak lengkap rasanya kalau ke Subah nggak sarapan nasi megono. Ada yang kurang rasa-rasanya. Setelah makan seperti biasanya kami foto-foto. Tapi pandangan saya sedari sampai cukup terganggu dengan banyaknya kapal tongkang di ujung sana. Kapal yang hilir mudik membawa batu bara. Entah untuk PLTU Batang atau apa. Tapi cukup mengganggu pemandangan. Laut jadi terlihat jalur hitam pengrusakan bumi. Kita sadar tapi sayang belum bisa berbuat banyak. 

Setelah berfoto dan membuat konten untuk keperluan reels (yang mungkin ketika tulisan ini terbit reels-nya sudah bisa dilihat). Saya dan Dian mencari jalan untuk lebih dekat ke PLTU Batang. Rasa penasaran memang hadir sedari saya tiba di Subah. Seberapa besar sih  atau gimana sih bentuknya PLTU? Terjawab sudah ketika saya secara dekat melihat PLTU Batang. Memang besar, wajar corong PLTU saja terlihat dari arah mana-mana. Menjulang tinggi menantang langit. PLTU belum beroperasi. Jika sudah, bisa ditebak, asap dari produksi listrik itu pasti membumbung tinggi meraih atap langit. Debunya terbang ke sana kemari dan secara tidak sadar meracuni sekeliling dan membunuh. 

Pulang ke Jakarta 

Tak terasa sudah hampir seminggu saya di Subah, Batang. Lebaran sudah memasuki hari ke 4 dan saya harus pulang ke Jakarta. Kembali pada rutinitas harian yang melelahkan dan berjibaku dengan keruwetan ibu kota. 

Pulang ke Jakarta kali ini banyak membawa hal, selain kerinduan dengan keluarga, saya banyak membawa pengalaman dan hal-hal baru. Sebuah perjalanan yang menyenangkan dan sedari awal memang mau ditulis untuk dikenang bersama. Menjadi catatan spesial dari saya yang orang Jakarta mudik pertama kali ke kampung istri. 

Tahun ini  saya mudik hanya dengan Dian. Tahun depan atau depannya lagi atau depannya lagi mungkin dengan anak-anak saya. Dan jelas ini akan saya jelaskan kembali. 

Ohya ada kejadian yang cukup menegangkan ketika perjalan dari Subah menuju ke Stasiun Pekalongan. Seturun dari metromini yang kami naiki dari depan rumah, kami turun di terminal. Kami disambut para ojek pangkalan yang menawarkan jasa untuk diantar. Saya dan Dian menolak karena dengan barang bawaan akan lebih mudah jika menaiki ojek mobil yang kami pesan lewat aplikasi.

Saya dan Dian duduk di depan rumah makan Sego Dalem menunggu mobil yang Dian sudah pesan ketika di dalam metromini. Namun tiba ojek pangkalan yang tadi menghampiri kami dan bertanya “pesan ojek online yah?” Saya dan Dian dengan cepat jawab “iya” tanpa basa-basi. Ternyata itu awal dari petaka.

Mobil kami sampai di depan rumah makan Sego Dalem.  Saya memasuki mobil lewat pintu belakang dan merapikan barang bawaan. Namun ketika Dian ingin masuk dari pintu depan. Ada lelaki yang menghalangi. Dan tetiba juga, ojek pangkalan yang tadi bertanya sudah di samping supir dengan muka marah. Si ojek pangkalan bilang “ini zona merah, nggak boleh ambil penumpang.” Supir ojek online kami meminta maaf dan mengatakan tidak tahu ada peraturan macam itu. Bahkan mengambil solusi meng-cancel orderan kami. Lalu memberikan kami pilihan untuk diantar ojek pangkalan. 

Ojek pangkalan cukup ngotot dan masih bernada tinggi. Sesekali menatap saya dengan tajam. “kadang penumpang juga enggak tau diri” begitu katanya. Beberapa kali ojek pangkalan juga bercerita singkat kemarin atau beberapa waktu sebelumnya ada juga yang begini dan berakhir digebukin ojek pangkalan. Saya cukup gemas untuk berbicara, tapi saya sadar saya pendatang. Akan menjadi pemicu hal-hal lain. Saya memilih diam dan melihat apa yang dimau si ojek pangkalan. Tak lama sopir online kami mengeluarkan uang. Meminta maaf kembali dan mengulang tidak akan mengambil penumpang di zona yang katanya merah ini.

Pertikaian selesai ketika uang pecahan sepuluh ribu diambil ojek pangkalan. Dian pun bisa masuk ke dalam mobil. Saya pun langsung meminta maaf karena tidak tahu ada peraturan ojek online tidak boleh ambil penumpang di sekitar terminal. Dalam hati “Dari pada bikin peraturan kaya gini, mending edukasi ojek pangkalan. Apa yang jadi kendala mereka nggak mau jadi ojek online. Ketimbang terus merawat kesenjangan macam ini dengan peraturan yang mungkin kurang sosialisasi. Kali ini saya selamat. Tidak ada baku hantam atau semacamnya. jika nanti terulang pada orang lain dan ada korban? Siapa yang mau tanggung jawab?” Masalah cari makan memang sensitif. Kebijakan harus berlandaskan keadilan.

Sampai tulisan ini dibuat, saya sedang berada dalam kereta menuju Jakarta. Berangkat pukul 07.12 dari stasiun Pekalongan dan sampai sekitar pukul 00.02 WIB dini hari di Stasiun Gambir. 


You Might Also Like

0 bersenandung kritik

Like us on Dafont