Berita Duka untuk Kota Reading di Sabtu Pagi

10:58:00 PM



Pukul 4 pagi saya baru bisa memejamkan mata dari hiruk pikuk pekerjaan sampingan. Mata mulai berat ketika efek dari kafein mulai perlahan-lahan menghilang dan mengisyaratkan tubuh manusia harus beristirahat dengan segera. 


Sekitar jam 9 pagi gawai berdering tidak seperti biasanya. Cukup rewel. Merengek seperti balita yang ingin diperhatikan. Dua atau tiga kali ia berbunyi, namun saya diamkan. Sampai akhirnya Dian mengangkatnya dan memberikan gawai ke telinga saya. Dari balik gawai terdengar suara sahabat menelpon dengan suara sengau. Suaranya pelan dan terus mengulang kalimat yang sama “Ayah meninggal!”. Kalimat yang benar-benar membuat jantung terasa sesaat tidak memenuhi tugasnya.

Setengah sadar saya terbangun. Kepala masih sedikit pusing. Saya mencoba menyadarkan diri dan berulang kali memegang kepala. Rada sedikit sakit dibagian belakang kepala. Saya sandarkan badan ke tembok. Mencoba memastikan ini bukan bagian dari bunga tidur.

Kabar duka itu datang bak lecutan bom yang meledak dalam perang sipil yang terjadi di tengah gang-gang kecil. Suaranya mengguncang apapun di dekatnya. Suara yang membuat saya sadar ini bukan bunga tidur. Realitas pahit yang saya harus terima di sabtu pagi.

Ayah yang dimaksudnya bukanlah ayah kandung saya. Ayah kandung saya telah berpulang lebih dulu di tahun 2006. Dan kabar ini memastikan saya akan kedua kalinya kehilangan sosok ayah. Ya, seorang yang menggantikan peran ayah saya ketika harus terlebih berpamitan pada saya dan keluarga karena sakit yang beliau derita.

Mungkin orang akan bingung. Kenapa saya memanggilnya ayah? Ibu saya tidak kawin lagi selepas ayah meninggal yang menjadikan saya memiliki ayah tiri. Ayah yang saya maksud adalah Ayah dari sepupu atau sahabat kecil saya, Ariq. Sosok ayah yang secara aklamasi saya anggap pengganti ayah saya.

Saya bergegas merapikan diri. Terburu-buru dan secepat saya bisa ke rumah duka di sekitar Kemanggisan, Batu Sari. Mengeluarkan motor dari teras. Dan mulai menyusuri jalan dengan segala ingatan yang memang secara alami terulang tentang sosok ‘ayah’.

Banyak hal yang langsung saja saya ingat. Seketika kotak ingatan saya memilih-milih berkas ingatan tentang ayah dalam sekejap. Menjadikan satu bundle ingatan yang siap saya putar dan makin membuat sabtu pagi ini makin melankolis.

Ingatan membawa saya kembali ke masa-masa saya kecil dan tumbuh dengan Ariq. Saya selalu ingat ketika sabtu atau minggu menginap di Batu Sari. Bangun subuh dan sholat berjamaah di masjid. Saya selalu ingat setelah sholat selesai ayah memakai mikrofon selalu membagikan kabar seputar hari ini. Seperti pewarta radio yang mengabarkan peristiwa yang terjadi hari ini. Lalu ayah menutup siaran dengan kalimat “selamat jalan, selamat jalan” seolah kalimat motivasi bagi siapapun yang hari itu akan memulai hari. Remotivasi bagi mereka yang yang mungkin kehilangan semangat dan melecutnya dengan kalimat sederhana.

Bicara tentang ketertarikan Ariq dengan font juga mungkin tidak terlepas dari kegiatan ayah saat membuat spanduk. Saya dan Ariq kecil selalu ikut nimbrung ketika ayah sibuk membuat spanduk. Hal yang selalu dilakukan ketika ada kegiatan atau hari-hari besar di masjid. Spanduk dibuat dari kain hitam panjang. Dan huruf isi spanduk dibuat dari potongan kertas yang ditempelkan dengan lem kertas. Satu-satu saya dan Ariq kecil menempelkanya. Satu satu kata terlihat dan akhirnya tersusun jadi kalimat utuh. Walaupun tangan akan mencium bau lem yang seperti bau ketek. Kegiatan ini menjadi salah satu bagian mengisi hari libur saya semasa kecil.

Ayah dan Ibu selalu mengajak saya ikut menemani Ariq. Mulai dari Bandung, Cipanas, Bogor sampai ke Anyer saya selalu diajak untuk ikut. Ya dari perjalanan ini bukan hanya merasa senang, tapi saya belajar banyak tentang kehidupan. Hal yang mungkin di masa kecil saya anggap sepele ternyata berdampak hingga saya dewasa. Menikmati hidup dengan tetap sederhana dan tetap mengingat Tuhan.

Ingatan saya juga kembali pada masa-masa saya dan Ariq pesantren. Mungkin ingatan yang tidak baik untuk saya karena terus menambah rasa penyesalan dari tindakan saya di masa lalu. Tapi saya selalu ingat bagian dari kenangan ini. Setiap minggu, bukan hanya mama dan kakak yang datang ke pesantren untuk menjenguk. Tapi juga kedatangan Ibu dan Ayah menjenguk Ariq yang datang menggunakan Astrea hitam kesayanganya.  

Saya ingat, di ruang tunggu tamu itu kami duduk melingkar. Ibu dan Ayah selalu bawa lauk-pauk kesukaan kami. Atau jika tidak sempat masak saya dan Ariq pasti memesan nasi goreng dan mie goreng Darwin langganan di depan masjid Pesantren. Makan dengan lahap sampai habis tanpa sisa pastinya. Setelahnya makan obrolan pasti akan bergulir seputar kegiatan pesantren dan segala biaya administrasi yang belum dibayarkan dan harus segera dibayarkan.

Saya juga selalu ingat Astrea kesayangan yang dipakainya kemanapun Ayah pergi. Bahkan disaat saya kuliah di Ciputat. Cukup sering saya bertemu ayah di jalan. Ayah dengan lincah meliuk-liuk menerobos jalan Jakarta yang kata orang kejam. Dan mungkin tidak berlaku pada Ayah.

Saya tahu beberapa tahun belakang kalau Ayah sakit dan drop. Tubuhnya tidak lagi segagah dulu. Ayah hanya bisa di tempat tidur atau di kursi roda untuk menjalani hari-hari.

Menjelang hari pernikahan saya dengan Dian di Pekalongan saya sengaja meminta keluarga besar untuk kumpul keberangkatan di rumah Ariq. Selain memang ayah dan ibu tertua di keluarga besar, saya juga ingin meminta ridho dan doanya untuk niat saya menikah. 

Saya ingat saat itu hujan turun dengan lebat dipagi hari. Ditengah guyuran hujan, saya bersimpuh. Menahan tangis. Dan berpamitan dengan nya. Ada satu hal yang saya lakukan sebagai bukti bakti saya, yang tidak penting saya ceritakan.

Motor saya berhenti di teras rumah. Suasana masih sepi. Saya jalan perlahan. lalu masuk ke dalam rumah. Suara tangis sudah pecah. Melihat tubuh kaku ayah diatas tempat tidur. Semua sibuk dengan ingatan dan kesedihan masing-masing. Semua memiliki ruang ingatan yang sedang dinikmati. Bersedih dengan kenyataan manusia yang disayangi, dicintai, dihormati harus berpulang. Karena setiap yang bernyawa akan mati. Hanya tinggal menunggu giliran saja.

Saya kini berdiri di hadapan jenazah Ayah. Wajahnya bersih. Tenang. Dan seakan memberi tahu semua untuk tetap melanjutkan hidup dengan segala pesan yang selama hidup ayah berikan. Saya pun melihat Ariq dalam gawai yang sedang menahan tangis dari belahan benua yang berbeda. Saya tahu rasanya. Saya tahu kesedihan. Mungkin posisinya lebih berat ketimbang saya dulu.

Kabar sedih ini sampai di Kota Reading. Tempat dimana Ariq sedang mengejar cita-citanya. Saya selalu berpikir dia lebih kuat ketimbang saya dalam hal seperti ini. Tapi kali ini saya kembali melihat dia menangis yang saya lihat terakhir kali di waktu pesantren.

Sabtu pagi ini kembali hujan. Semesta seolah ikut bersedih atas kepulangan Ayah. Ya, kita sama kehilangan dan sama bersedih. Lalu tersadar, kita pun kini sama-sama yatim.

Setiba dirumah, saya duduk di depan kursi. Saya mulai membakar rokok. Lalu menyalakan laptop. Memakai headset. Menyetel ‘lagu lelah’ dari sisir tanah berulang-ulang. Ada yang harus saya curahkan. Lalu mulai menuliskan ini semua. 

“Siapa kita kenapa bisa menanggung nyawa. Mengunyah yang tak hanya berjejal pedih Bahkan, Tuhan”.



You Might Also Like

0 bersenandung kritik

Like us on Dafont