“Ash-shalaatu khairum minan-nauum …”
Subuh
itu azan berkumandang seperti biasa dari toa masjid pesantren. Suara itu bak
seperti alarm tanda bangun untuk semua santri, tak terkecuali aku. Tahun
pertama menjadi santri adalah tahun yang sulit buatku, menyesuaikan diri dengan
rutinitas penjara suci (re:sebutan
lain pesantren di jamanku) ini membutuhkan waktu yang lumayan lama. Mungkin
salah satu yang paling sulit ialah bangun di waktu tepat dengan azan subuh.
Hanya saja subuh itu agak berbeda, aku bangun sebelum azan berkumandang.
Mimpi
itu mambangunkanku. Keringat bercucuran, bajuku basah, sampai ke bantal dan
gulingku. Aku terbangun, melihat seisi kamar yang sesak di penuhi tiga ranjang
bertingkat dua, kamarku berisikan enam orang. Aku melihat Yogi sepupuku tidur
pulas, Bang Fuad di ranjang bawah, lalu Fajar, imam, Zein di ranjangnya
masing-masing. Lalu mataku melihat ke langit kamar, kadang aku menoleh ke
jendela, melihat langit yang masih gelap, sesekali aku lirikkan mataku ke jam,
waktu masih menunjukan jam 2 pagi. Ku buka baju ku untuk mengelap keringat,
dalam telanjang dada, rasa-rasanya aku ingin menangis, lalu kembaliku mengingat
mimpi itu secara samar.
Setelah
lulus sekolah dasar, tak ada niatanku untuk masuk pesantren, yang aku pikir
saat itu hanya ingin sekolah di SMP negeri seperti teman-temanku yang lain.
Hanya saja, Ayahku menawarkanku masuk pesantren setelah berbincang dengan
pamanku, yang memiliki seorang anak yang seumuran denganku, Yogi. Aku ingat
saat ayah menanyakan hal itu, bahkan aku ingat betul momentnya. Sore itu aku di
depan Tv sedang menonton kartun. Ayahku baru saja pulang kerja, dengan memakai
kemeja ia duduk di sampingku, lalu merangkulku. Tak lama berselang iya
menanyakan hal itu, pertanyaan yang sangat sederhana, mau masuk pesantren atau
masuk SMP negeri. Percakapan sore itu cukup lama, hampir menjelang magrib Ayah
terus bercerita tentang semua yang ia ketahui tentang pesantren. Mulai,
kehidupan disana, adat, makanan, pertemanan, sampai pelajaran yang akau dapat.
Anehnya aku menjawab iya setelahnya.
Ayahku lelaki berbadan kurus, tinggi
dan memelihara jenggot. Ia anak ketiga dalam keluarga besarnya, tumbuh di ruang
lingkup agama yang ketat, karena ayahnya (Re:
Kakeku) adalah salah satu tokoh ulama di daerahnya. Hal itu membuat Ayah tumbuh
menjadi lelaki yang bijak, beribawa, dan cerdas, itu di buktikan banyaknya buku
di rak yang di taruh di ruang tamu, hampir sebagian besar buku agama terutama
Hadist. Ada sebuah cerita yang menurutku menarik, pernah ada seorang tamu
datang ketika menjelang azan magrib, ketika Ayah sedang membaca bukunya. Dan
apa yang di lakukan ayahku? Ia menyuruh tamunya pulang dan kembali lagi setelah
lepas magrib, mungkin itu salah satu sikap tegasnya entah dalam hal agama atau
etika.
Setelah aku mengiyakan masuk
pesantren, ayahku adalah orang yang paling senang. Aku lima bersaudara sedang
aku anak ke tiga, dua kakak ku menolak untuk masuk pesantren dengan alasan
mereka masing-masing sedang 2 adiku masih teramat kecil, dan giliran pertanyaan
itu datang, aku mengiyakan, mungkin wajar Ayah itu membuatnya sangat senang.
Singkat cerita, hari pertama pun
datang. Sayangnya Ayah tak bisa mengantarkanku ke Pesantren aku lupa apa yang
membuatnya tak bisa. Aku hanya di temani ibu, Tanteku dan tentu saja Yogi sepupuku,
ia sama sepertiku menerima ajakan dari ayahnya. Aku dan Yogi memang berteman
akrab bahkan sejak dalam kandungan, Ibu dan tanteku sejak hamil selalu bersama
kemanapun, mungkin itu terbawa hingga aku di lahirkan. Selang dua bulan Yogi
menyusul. Mungkin dengang bersama Yogi aku bisa sedikit bisa tenang, ada teman
yang ku kenal di sana.
Malam pertama sangat berat, sejak
Ibu dan tanteku pamit pulang, wajahku sama pucatnya seperti Yogi. Kami saling
berdiam diri di kamar, baru beberapa jam di lepas, aku sudah rindu, yaa seakan
sudah lama di tinggal, padahal baru itungan jam. Kesedihan itu tak terbendung
lagi ketika malam, aku melihat Yogi menangis di atas Kasur, aku tak berani
menyapanya atau sok menegarkanya, akupun sama, aku rapuh juga, tak lama kemudian
aku menangis. Malam pertama jauh dari rumah, tanpa Ibu, Ayah, kakak ku dan
adiku. Hanya ada aku, dan hanya Yogi yang aku kenal malam itu.
Aku ingat sebuah janji. Ucapan janji
yang aku ucap pada ayahku setelah mengiyakan masuk pesantren. Mungkin cukup sederhana,
maklum anak baru lulus sekolah dasar, mimpinya masih sangat segar tuk terus di
ucap dan di gaungkan. Aku berjanji akan enam tahun di pesantren dengan
cita-cita meneruskan Kakeku menjadi seorang ulama, atau sebatas Ustadz kampung.
Ayahku tersenyum lebar ketika aku berbicara begitu, sambil kembali menujukan
kalam, menyuhurku melanjutkan bacaan Al-Quran yang terhenti ketika aku
berbicara padanya.
Telepon berdering, di seberang sana
Ibuku menjawab. Aku sudah saatnya pulang untuk liburan Ramadhan. Aku memintanya
menjemputku. Sudah kurang lebih tiga bulan aku di pesantren, waktu yang lumayan
lama bagiku tak bertemu keluarga, walau setiap 1 bulan sekali Ibu selalu datang
memberikan uang saku dan makanan, namun tanpa Ayah. Ia tak bisa ikut menjenguk
karena mungkin sibuk atau ada suatu hal yang tak bisa ia tinggal jika sabtu dan
minggu.
Di rumah aku banyak bercerita dengan
Ayah, tentang semua hal yang aku rasakan di pesantren. Semua hampir sama dengan
apa yang Ayah ceritakan dulu. Hal yang paling aku ingat ialah aku menceritakan
bagaimana cara mengantri mandi, dan saat itu Ayah tertawa lepas, bahkan Ibu dan
kakaku ikut larut. Liburan saat itu aku habiskan hanya bermain, dan becerita.
Bahkan di saat lebaran ayah sangat bangga memamerkan anaknya yang masuk pesantren
dan menjadi bobot unggul keluarganya kelak. Setiap tamu yang hadir selalu di
selipkan diriku, tentang pesantren, cita-cita dan harapanya untuku.
Sudah
dua minggu, aku harus kembali lagi ke pesantren, menjalani rutinitas kembali
menjadi seorang santri. Namun, ketika ingin pulang, setelah 1 minggu lebaran,
Ayahku sakit. Ia terbaring lemah di atas Kasur, sudah masuk hari ketiga ketika
aku pamit ingin kembali. Memang sebuah rutinitas biasa ia sakit karena terlalu
cape, badan kurusnya bukti kalau ia memang ringkih. aku pamit padanya, aku cium
keningnya, lalu pamit dengan mencium tanganya, aku tak tega membangunkanya.
Aku
jadi teringat mimpi itu, mimpi yang membangunkanku jam dua pagi, membuat badanku berkeringat
basah sampai akhirnya kau tertidur kembali dengan telanjang dada. Mimpi yang
sepertinya nyata. Aku bermimpi menaiki sepeda motor dengan ayahku di sebuah
jalan, lalu jalan itu semakin panjang hingga masuk dalam lorong putih. Jalanan
yang tadinya di penuhi pohon pinus di sisi kanan dan kiri berganti menjadi
sebuah pemakaman, dengan nisan berlapis emas, dan yang aku ingat ayahku
berbicara “Ayah Pulang, kamu lanjut perjalanan” ia berucap sambil tersenyum,
aku ingat ia memakai baju rapi serba putih. Setelah itu aku terbangun.
Pintu
Wartel ku buka, aku masuk bilik paling ujung, tempat yang memang paling sering
aku datangi ketika ingin menelpon Ibuku. Entah merengek ingin pulang, meminta
uang saku yang habis, menanyakan kabar atau mengabarku kalau sakit. Biasanya
aku menelpon rumah sekitar jam 5 sore, disaat masjid-masjid menyalakan audio
dengan murotal Al-Quran. Dan biasanya suara Murotal dari Mushola dekat rumah
terdengar jelas yang membuat ku makin merindukan rumah. Karena jam-jam itu Ayah
pulang kerumah.
Dering
teleponku terus berjalan, di seberang sana tak ada yang mengangkat, ini kali
kedua kau menelpon. Sampai ke empat kalinya baru di angkat, ini bukan suara
Ibu, ini suara kaka tertua ku Ikram. Aku menanyakan Ibu dan Ayah, kakaku bilang
mereka sedang ada acara tak ada di rumah, ketika aku tanya lebih, kakaku hanya
diam, terlihat bingung. Aku matikan telpon kemudian karena uangku tak cukup
untuk menelpon banyak, saat itu biaya menelpon di Wartel cukup mahal untuk
menelpon rumah.
Esok
harinya aku menelpon lagi, aku ingin pulang rasanya entah dengan alasan apa.
Atau aku ingin Ibu menjenguku minggu ini. Aku kembali ke Wartel itu, kembali ke
bilik paling pojok, ku menunggu jawaban sambil memelintir kabel telepon. Dua
kali takada jawaban, kali ke tiga aku telepon lagi, kali ini bukan ibu atau
kakak ku yang mengangkat melainkan Tante atau adik dari Ibuku, Tante Nina
namanya. Aku bertanya kemana orang rumah, ia menjawab lama dan lebih sering
diam. Intinya orang rumah sedang keluar semua dan hanya dia yang ada di rumah,
padahal ia jarang datang kerumah. Sebuah hal yang aneh.
Pagi
itu jarang sekali aku mendapat giliran mandi pertama, biasanya aku mengantri
cukup lama untuk baru bisa mandi. Terlebih hari sabtu, hari yang paling
membuatku malas. Karena hanya di sini yang hari sabtu masih masuk sekolah sedang
di tempat lain sudah libur walapun setengah hari. Hanya pagi itu aku terlihat
segar dengan mendapat giliran mandi pertama dan sudah siap berangkat lebih
awal.
Jam
menunjukan pukul 12 siang, azan zuhur berkumandang, kelasku berada di lantai 3.
Aku berdiri didepan kelas sembari melihat lapangan di lantai paling bawah.
disebelahkuYogi, dan beberapa temanku. Entah kenapa, ketika azan zuhur selesai,
aku meneteskan air mata, Yogi sadar dan menyakanku, aku hanya bingung, dan
menjawab taka da apa-apa mungkin terkena debu. Sampai pulang sekolah dan
kembali ke kamar aku masih sering diam dan entah kenapa.
“Dam
kita pulang hari ini …” kata Yogi ketika masuk kamar, sedang aku masih sibuk
bercanda dengan Zein, Fajar dan Imam.
“Kok
tumben dadakan Gi?” tanyaku heran.
“Ada
acara keluarga katanya, sudah di jemput sama Bang Jaki di bawah, beberes ya,
mau ijin ke Ustadz dulu” jawabnya tenang, lalu turun ke bawah. Aku hanya bisa
mengiyakan dan langsung bergegas membereskan baju dan rasa senang pun terpancar
jelas.
“Dam
nanti bawa makanan yah kalo balik” canda Fajar
“Biasanya
ente kan bawa Astor tuh” Imam menimpali dan mereka tertawa, aku hanya bisa ikut
tertawa dengan mengodekan tanda mengiyakan permintaan mereka.
Aku turun kebawa membawa tas dan
baju kotor. Aku lihat hanya da Bang jeki ia adalah kaka dari Yogi. Aku heran
kok hanya ada dia kemana kaka ku.
“Ka
Ikram kemana Bang?” tanyaku
“Lagi
kerja Dam nanri nyusul ke rumah Baba” jawabnya. Baba adalah panggilan dari
kakeku.
Tak lama Yogi datang, mukanya
tegang. Ia bilang kita di ijinkan pulang, aku kira ia tegang Karena berhadapan
dengan ustadz yang memag sulit untuk mendapatkan ijin. Aku dan Yogi pulang
dengan berboncengan bertiga, takada obrolan, semua hening, akupun diam dan
hanya memperhatikan jalanan, karena sabtu jalan terlihat lenggang dan motor
melaju tanpa hambatan menelusuri jalan tanpa hambatan.
Di pertigaan dekat rumah, ada
segerombolan motor dengan hampir semua memakai baju koko dan peci putih, tak
lama mereka melihat ku lalu aku pun terasa familiar dengan orang-orang itu
hanya aku lupa siapa mereka, keluarga dari ibuku atau teman Ayahku, entahlah.
Mereka melihatku sekali lagi, seperti memastikan. Aku seperti mendengar ucapan
mereka “Itu anaknya Shaleh, yang di pesantren, baru pulang dia …. “ sisanya aku
tak dengar karena lampu sudah berwarna hijau. Bang Jaki kali ini berjalan pelan
seperti sengaja menjauhi rombongan tadi. Akupun hanya menganggap angin lalu,
mungkin sebuah kebetulan saja bertemu mereka, atau mungkin mereka teman ayah
yang kenal denganku.
Hampir sampai di gang rumah, namun
Bang Jaki malah berbeluk ke Gang satunya lagi, kea rah rumah Kakeku.
“Kok
Ke sini Bang?” tanyaku heran.
“Acara
keluarganya di rumah Baba” jawabnya singkat lalu diam tanpa menjelaskan apapun.
Motor baru saja masuk gang rumah
kakeku sampai akhirnya berpapasan dengan Bajai. Motor terhenti, ketika bajai
itu lewat, di dalamnya ada Tante Nina adik dari mamaku dan suaminya. Ia seperti
berteriak, tetapi samar terdengar, aku hanya melihat ia melambai dari kejauhan
aku hanya bisa menerka ia bilang suatu kalimat “Adama … Sabar …”. Setelah itu
Bang jaki terus menjalankan motornya kembali dengan kebisuan.
Tepat di depan gang, aku tercengang,
menelan ludahku, sudah dari masuk gang aku sadar ada beberapa bendera kuning
yang ku lihat, namun tak bernama, semua kosong polos. Di tempat di tiang
listrik. Yogi mulai pucat aku melihatnya dari kaca spion. Tepat di depan rumah
kakeku ramai, banyak sekali orang. Ada ambulance putih yang terparkir dengan
tulisan Mobil Jenazah, bangku-bangku kosong, karangan bunga dan orang yang
sibuk membuat nisan berwarna hitam. Aku terdiam sejenak, berjalan perlahan
ketika turun dari motor, napasku terengah tak beraturan, jantungku berceguk
cepat. Yogi di belakangku, aku bawa ransel dan tas berisi baju kotor. Aku
berjalan, sampai orang mulai memerhatikanku, aku tak kenal siapa mereka, tapi
aku ingat dari banyaknya orang ada rombongan yang tadi aku temui di petigaan.
Kaka kedua ku tiba-tiba berlari memeluku, dia memegang buku Yasin …
“Baba
meninggal ka” bisiku di telinganya. Aku melirik ke samping ada adik paling
kecilku memakau baju Tk-nya. Lalu ia berlari dan tertawa.
“Ayah
udah enggak ada Dam, Ayah ..” Aku terdiam, aku rasa aku salah dengar, atau
mungkin aku berhalusinasi, ini mimpi atau apa, aku belum tersadar.
“Ayah
Dam Ayah .. “ ia mengulang dan memeluku kencang.
Tas ranselku terjatuh, kakiku lemas.
Aku berlari menuju gang, pamanku mengejarku. Lalu menangkapku, ia mencoba
menenangkan. Aku kembali melihat adik paling kecilku berlari, tangisku sudah
pecah, ke panggil adiku, aku peluk. Aku tahu ia tak tahu apa-apa tentang ini.
Berkali aku di ajak untuk masuk melihat jenazah, dan semuanya aku tolak dengan
dalih tak tega. Aku masih tak percaya, semua masih terasa mimpi, aku ingin
bangun dari mimpi ini, aku ingin segera cuci muka dan kemabli segar. Namun
berkali aku cubit pipiku semua terasa sakit, ini nyata.
Aku di antar menuju rumah Yogi,
semua yang melihatku mencoba menenangkan dengan segala cara, aku hanya terdiam,
tangisku tak terbendung takada yang bisa menahanya keluar. Kecuali pamanku,
Ayah dari Yogi ia teman baik Ayah. Dia bercerita, Ayah masuk rumah sakit minggu
lalu, terjatuh dari kamar mandi, di larikan ke rumah sakit. Lalu ayah di rawat
di ICU dengan alat di mana-mana, sekujur tubuhnya penuh dengan katanya. Lambung
ayahku bocor katanya akibat telah menipis karena obat yang di konsumnsinya.
Ayah Yogi pergi, kini Ibunya Yogi
atau kakak dari ayahku yang duduk di sebelahku. Mengusap rambutku. Ia seakan
menajutkan cerita. Ayah di rawat seminggu lalu, dan memang sengaja tak
mengabarkan ku sama sekali, itu permintaan ayah. Katanya, ayah tak bisa biara karena
alat di tenggorokanya. Ia menulis pesan lewat kertas dan menulisnya dengan
spidol. Namaku yang selalu disebut, menanyakan kabarku. Ayahk meninggal pukul
12 selepas azan zuhur tadi siang setelah seminggu berjuang melawan penyakitnya.
Jam dimana aku tiba-tiba menangis tanpa sebab, tepat sekali ketika ajal ayahku
menjemputnya.
Malamnya aku mencoba datang lagi
kerumah kakekku, namun nihil aku tak kuasa melihat jenazah ayahku. Hanya dari
kaca jendela aku menoleh, disana terbujur kaku laki-laki yang aku panggil ayah.
Selebihnya aku berlari keluar duduk di tanah dan menangis masih menganggapnya
mimpi.
Sampai hari pemakaman aku tak
melihat wajah ayah terakhir kalinya. Aku teringat mimpi yang membangunkanku jam
2 subuh ketika ayah mengajakku jalan-jalan dengan sepeda motor di hutan pinus
lalu berhenti di sebuah pemakaman dengan nisan berlapis emas. Moment itu
menjadi sebuah tanda perpisahan. Atau mungkin itu sebuah pertanda ia baik-baik
saja di sana sekarang, tersenyum melihatku di balik awan dan menunggu doa-doa
terbaik dariku sampai padanya.
Namun setelah menginjak
bertahun-tahun kepergianya, aku merasa rindu dan menyesal. Tak melihat wajahnya
terakhir kalinya dan tak menepati janjiku padanya. Hal itu yang membuatku
menyesal sampai saat ini. Dan selalu ingin memiliki kesempatan semalam saja
tuhan mengijikanya turun ke bumi, lalu masuk kebdalam mimpiku, menyempatkan
berdialog, bercanda, membicarakan kabar atau sekedar saling tatap dan tersenyum
bersama untuk melepaskan rinduku.