Jalan TB Simatupang cukup lengang siang ini. Tiada kendaraan yang mengantri ingin saling lebih dulu berjalan ke depan. Tidak ada juga lomba klakson paling panjang seolah minta diperhatikan siapa yang paling bising merusak gendang telinga. Jalan cukup lengang, motor vario hitam yang ku beli hasil ikut projek sana sini bisa berpacu lebih cepat. Siang itu ada satu ajakan teman untuk datang ke acara bedah buku Mencintai Munir. Tanpa babibu aku iyakan ajakan teman dan meluncur ke tempat acara.
Benar kata beberapa kajian, bernyanyi di atas motor memang menyenangkan. Suara bergema dalam helm yang membuat suara hanya terdengar untuk diri sendiri saja. Cukup banyak aku nyanyikan lagu bahkan sesekali sok membuat lagu. Ya begitulah, tadinya mau jadi musisi ekh gagal karena sadar suara enggak enak main alat musikpun tak bisa. Menghibur diri dengan bernyanyi dan sok membuat lagu jadi pelipur lara. Menjadi realistis kadang sangat perlu ketimbang memaksakan suatu hal.
Perjalanan menuju tempat acara lumayan jauh jaraknya. Salah satu kantor baru teman lamaku. Kantor hukum yang saat ini sedang banyak melakukan advokasi perihal hak asasi manusia dan korupsi. Mungkin hampir satu jam jika aku harus memacu motor dengan santai. Ini karena faktor usia dan beban mental yang membuatku memilih menikmati saja perjalanan. Jalur ini juga rute yang mengingatkanku masa-masa mahasiswa. Sesekali bernostalgia. Selain bernyanyi, kadang aku juga iseng menyusun alur cerita draft novel atau berimajinasi sesuka yang ku mau. Beginilah resiko menjadi gemini yang banyak mau.
Entah pemantik apa, aku tetiba teringat Ayah yang kini sudah masuk tahun ke-17 dia meninggalkan kami. Mungkin karena sekilas almarhum Munir mirip dengannya. Teringat lagi masa dimana pencarian identitas karena merasa merana ditinggal sosok Ayah dan menjadi yatim. Namun ku rasa fase-fase itu sudah jauh melewatiku. Sudah melebur menjadi keikhlasan. Kini aku jauh lebih dewasa walau ku masih menangis jika lagu Ebiet ku dengar dengan earphone. Tapi itu wajar, tidak ada yang salah dengan menangisi dan merindukan orang terkasih.
Di atas motor, ku coba merawat ingatan dan mungkin mencoba sedikit saja mengenang dengan cara bercerita. Membayangkan bagaimana jika Tuhan berbaik hati memberikan aku satu kesempatan untuk bertemu lagi dengan Ayah. Lewat sebuah mimpi panjang yang terlihat nyata. Pertemuan yang selalu kuinginkan di fase-fase merana dulu. Bahkan aku telah men-setting tempatnya. Rumah lamaku, di samping kolam lele, suguhan teh Tong Tji dengan cemilan biskuit kelapa jadi kudapan. Aku akan coba merekam pertemuan itu. Dengarkanlah perlahan ....
"Mursalaat .... Gimana kabarmu. Baik kah?" Begitu sapanya ketika aku duduk lebih dulu di samping kolam lele yang ketika aku kecil ku umpani dengan taiku sendiri. Aku bergegas salim dan memeluknya. Dia datang dengan pakaian serba putih dan peci putih di kepalanya.
"Ayah minta maaf, pergi lebih dulu tanpa persiapan. Bahkan tidak sama sekali mengabarimu waktu jatuh sakit. Tapi niat itu baik. Dulu Ayah pikir semua akan baik-baik saja. Ternyata takdir memilih lain. Sekali lagi maaf, semoga kalian sekarang baik-baik saja. Sehat dan bahagia."
"Ya namanya umur, Yah. Siapa yang tahu? Tapi memang sangat mengagetkan sih, Yah. Dan aku juga sangat terpukul saat tahu Ayah udah nggak ada ketika sampai di rumah Baba. Ku kira bendera kuning itu milik Baba yang memang sudah sakit lebih dulu. Ternyata salah, Kak Ian membisikkan dengan tenang kalau Ayah udah nggak ada. Bahkan saat itu aku tak berani melihat jasad Ayah sampai di penguburan. Hanya berani melihat lewat jendela. Bahkan tahun-tahun setelahnya aku phobia dengan jenazah dan ambulan," jawabku sambil menuangkan teh ke gelasnya.
"Ayah gimana, sehat? Udah lama nggak ngeliat Ayah. Rambut sudah ubanan aja, Yah?"
"Alhamdulillah sehat walafiat. Kamu gimana? Gimana kehidupan kamu Mursalaat?" tanyanya sambil menyeruput teh panas dan mengambil biskuit dalam kaleng.
"Yaaa gitulah. Aku keluar pondok beberapa saat ketika Ayah meninggal. Abis bingung juga. Masuk pondok kan karena Ayah. Waktu Ayah enggak ada, kupikir buat apa lagi. Jadi maaf ya, Yah."
"Enggak apa-apa, yal (iyal, panggilan keluarga untukku). Ayah juga minta maaf, dulu belum sempat jenguk. Padahal udah janji abis lebaran itu mau ke sana. Eh malah sakit duluan."
"Enggak apa-apa, Yah. Walaupun kadang masih nyesel kenapa keluar pondok. Padahal bisa buat bangga Ayah di sana. Atau bisa jadi penerus Ayah kan. Tapi semua gagal dan berantakan." jawabku.
"Enggak apa-apa namanya hidup. Kamu sekarang juga sudah lebih baik dan udah nemuin jalan hidup yang lain kan? Kenapa disesali. Jalan aja terus ke depan, yal."
"Iya, sehabis keluar pesantren, Aku masuk Madrasah padahal niatnya mau masuk STM kayak Ayah. Tadinya juga mau jadi guru. Seenggaknya masih nggak jauh-jauh deh dari ustad. Tapi takdir malah kemana-mana." Kuambil beberapa keping biskuit dan ku lemparkan ke kolam lele. Mulut mereka menyembul dan menyambut apa yang ku lempar.
"Jadi apapun kan balik ke kamu lagi. Buat apa Ayah memaksakan kehendak anak. Pilihan kamu juga sudah tepat sekarang. Toh yang kamu bela orang-orang miskin dan butuh bantuan. Kenapa enggak? Sama baik dan mulianya kok."
"Udah lima tahun masa pengabdian di lembaga bantuan hukum itu. Tapi sekarang keluar, Yah. Tepatnya di bulan Januari lalu. Ada beberapa hal yang membuatku berpikir kayaknya udah cukup dan saatnya cari petualangan lain. Sekarang sambil nunggu kerjaan baru, aku lanjutin kuliah dan lagi coba bangun kantor kecil-kecilan."
"Wah, semoga apa yang kamu sedang bangun lancar ya. Oh ya ambil jurusan apa kamu Mursalaat?"
"Amin, makasih doa-doanya, Yah. Aku ambil komunikasi politik. Kadang merasa bosan sih sebenarnya bahas politik mulu. Tapi di dalam hati paling dalam kadang mikir ini perlu kalau emang pengen ngelawan ikan yang lebih besar. Ayah dulu juga pernah di fase ini pasti. Di persimpangan jalan. Antara mau kiri atau mau ke kanan. Tapi masalah nilai masih sama sih, Yah. Enggak ada yang berubah. Kalau ada rezeki mau balik lagi di barisan itu. Paling beda isu aja dari hukum ke isu lingkungan. Sekali lagi doain ya, Yah."
"Di mana pun tempatnya yang penting bisa bermanfaat yal. Kamu bisa melakukan apapun. Banyak hal, asal dan tetap nggak merugikan orang lain." Tangannya lembut mengusap kepalaku.
"Makasih, Yaaah."
“Tapi seru kayaknya bahas politik sama kamu yal. Kayaknya soal preferensi politik kita akan beda. Ayah mungkin akan lebih konservatif dan kamu akan lebih progresif soal beberapa isu. Kayaknya kita akan sering debat kalau Ayah masih ada di sana saat ini.”
“Sudah bisa dibayangkan sih, bagaimana jadinya. Mungkin itu yang aku rasa kehilangan. Di saat teman atau orang lain bisa bicara soal debatnya dengan orang tua. Aku tidak bisa berbicara apapun. Tapi nggak apa. Aku senang bisa baca buku-buku Sabili dan majalah Hidayah Ayah di rak buku kok.”
"Eh ngomong-ngomong gimana percintaan kamu? Kalau masih ada Ayah kayaknya enggak akan kamu bisa pacar-pacaran gitu. Pasti taaruf. Atau Ayah larang buat pacaran atau semacamnya. Pasti masa remajamu hanya di rumah baca buku-buku Sabili dan kawan-kawannya. Sangat membosankan!"
"Kalau masalah cinta nggak jauh dari Ayah kayaknya. Cuma dua kali pacaran. Satu kandas karena kesalahanku sendiri, di rentang waktu SMA dan kuliah. Satu lagi bisa awet sampai nikah."
"Siapa namanya?"
"Pacar pertamaku namanya Radita. Anak yang baik dan bantu aku di masa susah. Sayang memang harus berpisah. Aku belum banyak bicara sama dia setelah berpisah sih. Tapi semoga dia bisa memaafkan salahku. Pacar keduaku bernama Dian, yah. Dia yang berhasil menarik aku dari lembah gelap keputusasaan dan kini jadi istriku. Beberapa tahun lalu aku memilih menikah, ketika sudah menemukan pasangan yang pas. Nanti suatu saat aku kenalkan ke Ayah," jawabku.
"Dua perempuan yang beruntung bisa nemenin kamu. Semoga di mana pun mereka berada bisa hidup baik dan bahagia. Sekarang kamu bersama Dian. Beruntung kamu bisa hidup dapat pasangan hidup dan berbagi waktu bersama. Bagaimana cerita hubungan kamu dengan Dian bisa sampai menikah, Ayah mau dengar dong."
"Aku bertemu Dian di masa sulit setelah putus dengan pacar pertama. Cukup penuh drama, Yah. Aku bertemu di acara volunteer di desa Baduy. Setelah acara itu aku menemuinya lagi di Bogor dengan yang tadi aku bilang penuh drama banget. Aku pacaran mungkin empat tahun. Setelah selama itu aku merasa cocok sih sama Dian. Dia merangkap banyak hal, teman, sahabat, kritikus bahkan partner dalam kerjaan. Paket komplit sekali. Dian orang Pekalongan. Akhirnya aku bisa punya kampung dan mudik kayak cerita Mama. Memang takdir dapat orang luar Jakarta.”
“Pasti Mama cerita yah kamu waktu kecil ngambek minta mudik padahal enggak punya kampung?” Ayah tertawa di tengah ceritaku tentang Dian.
“Aku menikah di saat pandemi covid sedang parah. Semua keluarga, aku boyong ke Pekalongan. Walau sedih nggak ada sosok Ayah di sampingku. Tapi semua lancar, Yah. Nggak nyusahin orang. Saat ini Dian sedang mengandung delapan bulan. Cucu kedua Ayah. Persiapan sih lancar. Soal mental insya allah siap. Bakal jadi ayah yang baik dan bisa berkomunikasi dengan anak. Merawatnya dengan bijak. Memberikan yang terbaik. Setelah ini harus lebih jadi dewasa. Walaupun sekarang sedikit deg-degan sih, Yah”.
"Seru juga hubungan kamu. Nanti kalau ada waktu dan kesempatan lain kita ngobrol bertiga ya. Untuk saat ini semoga semua akan baik-baik saja. Kamu beri semangat Dian. Temani dia. Jangan pergi-pergian dulu. Insya Allah Ayah doain semua lancar dan cucu Ayah bisa lahir dengan selamat dan ibunya pun sehat. Ohya, soal nama gimana yal? Ah kamu mah pasti bakal cari yang beda-beda sih. Sudah ketebak!"
"Amin, semoga semua lancar. Buat nama masih rahasia Yah, tapi udah dibuat dengan penuh arti dan filosofi. Maaf Yah, nggak ada unsur agamanya nih," jawabku sambil mengambil biskuit dan ku celup dalam teh.
Sore di rumah lama di jalan Budi Raya memang selalu menyenangkan. Menyimpan banyak sekali memori. Nggak salah aku memilih di sini sebagai tempat bertemu. Langit biru. Angin hilir mudik tanpa permisi. Suara ayam-ayam punya Bang Buyung. Tidak ada tempat terbaik selain rumah ini percayalah!
"Ohya Yah, draft buku Ayah ada di kamar aku tuh. Sayang banget belum keburu terbit."
"Iya ada dua draft tentang Alquran hadits yang tadinya Ayah mau terbitkan. Tapi gagal."
"Aku berhasil memenuhi keinginan Ayah yang gagal. Aku sudah terbitkan dua buku beberapa tahun ini Yah. Buku pertama tentang parenting anak berkebutuhan khusus, buku kedua tentang novel percintaan yang sebenarnya bercerita tentang aku sendiri. Kayaknya akan nyusul buku ketiga dan keempat. Aku sudah buat beberapa tulisan. Seenggaknya masalah penulisan aku selangkah di depan Ayah. Bukuku terbit tersedia loh di Gramedia," jawabku sambil meledek.
"Selamat ya Mursalaat, bangga sekali dengarnya ... Jangan berhenti menulis. Tulis apapun yang kamu mau. Jangan patah semangat. Jauhlah melangkah melebihi Ayahmu. Kamu kan yang paling ambisius ketika udah mau suatu hal. Soal ini Ayah nggak ragu."
"Astagfirullah sampe lupa tanya soal Mama, yal," mukanya menjadi serius.
"Alhamdulillah Mama sehat. Ya walaupun beberapa bulan lalu jadi bulan penuh keresahan sih buat keluarga kita. Mama sakit bahkan harus dioperasi dan harus dirawat. Belum lagi fase penyembuhannya. Tapi sekarang Mama sehat dan sudah bisa beraktivitas kayak biasa lagi kok, Yah. Ayah jangan khawatir pokoknya soal Mama. Anaknya ada lima dan semua siap siaga," jawabku sambil memandang wajah ayah yang mungkin terlihat berkaca-kaca. Ku maklumi suami mana yang tidak merindukan istrinya yang ketika ditinggal masih menanggung lima anak yang sedang masa pertumbuhan.
"Lalu gimana adik-adik dan kakakmu?
"Hemp, kakak-kakak sudah bisa bekerja di karirnya masing-masing. Aku rasa mereka sudah lebih melesat jauh soal karir, Yah. Kak Uli sedang merintis studio foto. Aku rasa sudah berkembang jauh usahanya. Bahkan sudah punya beberapa staff. Kalau Kak Iyan sekarang bekerja di bank BUMN, Yah. Untuk jabatan sudah bagus dan jadi pegawai tetap. Jalan mereka masih panjang. Kalau Ido, mungkin dia yang nurunin semua bakat seni Ayah. Dia ambil jurusan komunikasi visual dan baru aja selesai tugas akhir. Kemungkinan September wisuda. Karya-karyanya juga bagus. Enggak kalah sama Ayah. Buat Ical si bontot Ayah ini, dia udah makin besar. Sekarang kuliah di Bandung. Soal jurusan, aku belum banyak ngobrol kenapa Ical ambil jurusan ini sih. Dia ambil Sastra Prancis, Yah. Tapi aku percaya apa yang diambil Ical adalah yang terbaik untuk dirinya dan masa depannya!"
"Anak-anak Ayah sudah dewasa semua. Semua sedang menuju arah sukses. Maafin Ayah nggak bisa nemenin di masa kalian tumbuh. Mama kalian luar biasa. Bisa merawat kalian sampai titik ini. Berat pasti. Tapi sekarang mulai keliatan. Anak-anaknya sudah berdiri di kakinya masing-masing. Bangga Ayah sama kalian semua."
"Tahun ini Ido yang bakal wisuda. Tahun depan kalau lancar aku bakal menyusul untuk wisuda lagi, dan terakhir Ical yang bakal nyusul, Yah," kulihat Ayah meneteskan air mata. Tangis tak terbendung lagi. Dan lagi ku mewajarkan. Siapa yang menduga jika harus meninggalkan anak saat mereka masih benar-benar butuh seorang ayah. Tapi dalam hatiku bilang, lima anak ini adalah anak pilihan yang pada akhirnya bisa berdiri di atas kakinya tanpa harus menyusahkan siapapun.
"Ohya yal, makasih sudah menemani adik-adikmu. Selalu merawat mereka dan jadi pengganti Ayah di rumah sementara waktu. Maaf beban di pundakmu menjadi lebih berat.”
"Enggak apa, Yah. Aku belajar banyak. Mereka enggak boleh merasakan apa yang aku rasa. Mereka harus terus maju dan melesat bahkan kalau bisa melampaui aku. Enggak apa buat sekarang semua di pundakku. Aku dan Dian selalu support mereka kok."
Langit mulai memerah. Senja datang menyambut. Gaung shalawat dari mushola mulai bersahutan seakan satu irama dan membentuk satu kesatuan musik yang indah. Suaranya seolah menjadi teman dari pertemuan anak dan Ayah yang sangat singkat.
"Amry Al Mursalaat, anak ketiga Ayah. Makasih sudah meluangkan waktu buat duduk di sini. Ayah senang dengar kabar dan cerita dari kamu. Salam buat semua. Ada saatnya nanti kita semua akan berkumpul kembali. Mungkin di rumah ini. Rumah yang banyak kenangan tentang keluarga kita. Tetap semangat Mursalaat," pelukan erat Ayah persembahanku. Tangis pecah. Sesudahnya tiada lagi kata.
Dalam gema adzan magrib. Ayah pamit meninggalkanku di samping kolam lele sendirian. Memandang langit berona merah dan mengembalikanku kedalam kehidupan nyata.
Kembali dalam perjalanan menuju acara bedah buku Munir Said Thalib. Seseorang aktivis HAM yang tewas dibunuh dalam perjalanan menuju Belanda. Meninggalkan satu istri dan dua anak yang masih kecil saat ditinggalkan. Sama sama sepertiku dulu.
Sesampainya di sana. Aku kembali bertemu teman-teman lama yang mungkin beberapa bulan ini tidak bertemu pasca aku keluar dari kantor lama. Mendengar Suciwati, istri mendiang Munir bercerita soal suami yang telah pergi meninggalkannya. Suatu rasa yang sama ku rasakan, bahkan seperti baru tadi ditinggalkan Ayah dalam obrolan di samping kolam lele ditemani teh hangat. Terima kasih untuk kalian yang berjuang dalam rasa ditinggalkan dan terus berjalan perlahan untuk tetap menjalani hidup dengan rasa semangat.